Mengenal sosok KH. Saleh Darat al-Samarani

Barangkali terasa asing bagi kita mendengar nama KH.Saleh Darat (1820-1903 M), padahal beliau adalah soko guru dari Kyai-kyai terkenal Nusantara. Saya sendiri selama studi di tanah Jawi, jarang mendengar nama KH. Saleh Darat disebut atau diperbincangkan dalam kajian-kajian ilmiah. Nama ini baru saya dengar akhir-akhir ini ketika salah seorang dosen menyinggung peran KH.Saleh dalam bidang tasawuf.

Karena penasaran dengan tokoh yang satu ini, saya pun mencari buku karangan beliau atau tulisan-tulisan yang membahas tentang beliau. Sebenarnya, dulu pernah mau beli buku tulisan beliau terjemahan kitab matan al-Hikam (karya Ibnu Athoillah al-Iskandari Mesir abad ke-13 w. 1309 M) namun buku itu keburu habis karena sudah dibeli terlebih dahulu oleh orang lain.

Beberapa hari kemarin, saya mendapatkan informasi via grup whats up yang menawarkan buku “Pemikiran Tasawuf KH.Saleh Darat al-Samani Maha Guru Ulama Nusantara”, yang ditulis oleh Ali Mas’ud Kholqillah. Karena saya penasaran dengan sosok KH. Saleh Darat, maka saya pun memesan buku tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam kata pengantar bahwa buku inilah adalah hasil riset disertasi yang bersangkutan ketika menempuh kuliah pascasarjana di UIN Surabaya.

Bab-bab awal buku membincang tentang tasawuf yang berkembang di tanah Jawa, yang terdiri dari tasawuf sunni dan falsafi. Kemudian dilanjutkan dengan latar historis dan latar intelektual KH. Saleh Darat. Dalam pembahasan inilah saya sedikit dikenalkan dengan sosok KH. Saleh Darat al-Samarani dan sepak terjangnya dalam menyiapkan kader-kader ulama yang kelak menjadi ulama pesohor nusantara. Nama aslinya sebenarnya Saleh Umar, tapi terkenal dengan Saleh Darat al-Samarani. Menurut penelusuran Ali Mas’ud, Nama Darat al-Samarani ditempelkan pada akhir namanya kaena beliau tinggal di daerah Darat kota Semarang, daerah yang terkenal dengan pelabuhan yang disinggahi oleh banyak kapal dari penjuru nusantara.

Kenapa kemudian nama KH. Saleh Darat tidak setenar murid-muridnya seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947 M) pengasuh pondok pesantren Tebuireng Jombang sekaligus pendiri NU dan KH. Ahmad Dahlan (1868-1923 M) pendiri Muhammadiyah, KH. Mahfud termasi Pacitan (w. 1919 M), tokoh lokal yang menjadi salah satu Syaikh di Makkah al-Mukarramah, KH. Idris dari Solo (w. 1927 M) pendidi pesantren Jamsaren. Bahkan beliau disebut-sebut sebagai guru spiritual Raden Ajeng Kartini, karena keduanya sama-sama berasal dari Jepara dan ayah mereka berdua memiliki hubungan yang dekat karena sama-sama memperjuangkan Islam dan anti terhadap penjajah Belanda.

Menurut Ali Mas’ud, KH. Saleh Darat kurang kesohor karena masih minimnya sarjana yang meneliti dan mengkaji tentang sosok, perjuangan dan pemikiran beliau, kecuali setelah Ghazali Munir, Abdullah Salim, dan Muchayyar HS yang mengangkatnya dalam penelitian disertasi. Dari situ nama KH. Saleh Darat mulai berkibar dan diperbincangkan di kalangan akademisi, sehingga karya-karyanya muncul satu persatu dipermukaan dicetak ulang dengan tampilan yang cukup menarik. Begitupun tulisan-tulisan tentang beliau mulai ramai bermunculan.

Ali Mas’ud menginformasikan bahwa semenjak kecil, KH. Saleh Darat telah mempelajari agama kepada ayahnya KH. Umar khususnya dalam hal Qiraat dan Tajwidnya, kemudian memperdalam kitab kuning (ilmu kalam, fiqh, tasawuf, nahwu shorof, tafsir dan ilmu falaq) di beberapa pondok pesantren di Jawa. Setelah dewasa, untuk memperluas pemahamannya tentang Islam, beliau meminta ijin kepada ayahnya untuk melanjutkan belajar agama di tanah suci Makkah al-Mukarramah agar ilmu agamanya lebih mumpuni. Ayahnya pun memberi lampu hijau dengan mengajaknya berangkat haji sekaligus mencari ilmu di sana.

Di Makkah beliau berguru pada para Syaikh pada zamannya, diantaranya Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Ahmad Nahrawi, Sayyid Muhammad Sholeh bin Sayyaid Abdurrahman al-Zawawi, Syaikh Zahid, Syaikh Umar al-Sami, Syaikh Yusuf al-Misri, dan Syaikh Jamal (Mufti Mazhab Hanafi). Hal ini sejaman dengan Syaikh Nawawi al-Bantani, dan Syaikh Holil Bangkalan.

Dari hasil pendidikan di Makkah al-Mukarramah tersebut, ketika beliau pulang, beliau membuka pengajian di rumah isterinya di Semarang, sehingga lama-kelamaan, pengajiannnya tersebut ramai didatangi oleh para santri dari seantero nusantara sehingga didirikanlah sebuah pondok pesantren kira-kira pada tahun 1872 atau 1875 M.

Selama hidupnya, berdasarkan hasil dokumentasi yang telah dikumpulkan, beliau menulis beberapa karya dalam berbagai bidang diantaranya bidang Teologi dan kalam, Tafsir dan ulumul Qur’an, Fiqh, Tasawuf dan bidang Sirah Nabawiyah. Yang menarik, karangannya tersebut banyak yang ditulis dalam bahasa Jawa. Hal ini menarik minat penerbit untuk mencetak karya-karyanya.

Dalam bidang Tasawuf sendiri, sebagaimana yang beliau tulis dalam kitab al-Minhaj al-Atqiya’ bahwa seseorang yang ingin merambah jalan sufistiknya para waliyullah maka ia harus melakukan sembilan lelaku, yaitu taubat, qana’ah, zuhud, menuntut ilmu, konsisten dengan perbuatan sunnah, tawakkal, ikhlas, uzlah, dan menjaga waktu. Jika kesembilan lelaku tersebut dapat dijalankan secara konsisten maka menggapai ma’rifatullah akan terwujud. Bagaimana penjelasan satu persatu sembilan lelaku tersebut, maka perlu membaca bukunya lebih lanjut.

KH. Saleh Darat memperingatkan bahwa orang yang hendak menggapai ma’rifatullah atau musyahadah terhadap Nur Ilahi (tajalli), maka syri’ah, tarekat dan hakikat harus sama-sama dijalankan. Beliau mengibaratkan ketiganya itu dengan Kapal, Samudra dan Intan. Orang yang hendak mencari intan di samudra yang luas nan dalam, maka kapal yang ditumpangi haruslah dipertahankan sekuat tenaga agar tetap utuh dan kokoh, walaupun gelombang besar menerjang, jangan sampai kapal bocor. Karena kalau kapal itu sampai ada gangguan, maka jangan harap niat untuk mendapatkan intan bisa digapai.

Begitu juga, jika seorang salik hendak mendapatkan ma’rifatullah, maka syari’ahnya harus tetap ditegakkan secara konsisten, tarekatnya dijaga dengan baik, baru hakekat bisa didapat. Jika syari’atnya tidak diamalkan dengan sempurna dan konsisten, hakekat tidak dijaga dengan baik, mana mungkin hakekat bisa digapai. Mimpi kali yeee, hehe. Wallahu a’alam.

Surabaya, 6 Desember 2018.