Kawin Misyar


Kawin Misyar, tema itulah yang kawan saya angkat ketika mengerjakan salah satu tugas pembacaan teks Arab. Saya penasaran dan terasa asing mendengar istilah tersebut, karena istilah itu tidak pernah disebutkan dalam buku referensi fiqh manapun khususnya bab perkawinan. Setelah saya telusuri, istilah ini dimunculkan pertama kali oleh Syaikh Yusuf Qardawi pada tahun 1999 ketika menulis Buku yang berjudul Zawaj al-Misyar Haqiqatuh wa Hukmuh, dan juga dijadikan satu bab pembahasan dalam kitab yang berjudul Hady al-Islam fi Fatawa Mu’asirah dan kitab al-Ankihah al-Fasidah, yang intinya menghalalkan praktek nikah misyar walaupun kemudian banyak ditentang oleh mayoritas ulama bahkan desakan dari kaum wanita supaya al-Qardawi menarik kembali pendapatnya tersebut.

Buku yang berjudul Zawaj al-Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu ini tipis hanya berjumlah 31 halaman. Buku ini ditulis oleh Syaikh Yusuf Qardhawi dalam rangka merespon pertanyaan dari pemuda Arab mengenai fenomena merebaknya pernikahan wanita-wanita karier (janda) kaya di negara Timur Tengah, seperti Yaman, Mesir, Arab Saudi dan lain-lain yang memberikan kelonggaran kepada calon suaminya untuk tidak memberikan nafkah material kepadanya dengan catatan suaminya tersebut tidak tinggal satu rumah dan semuanya dikendalikan oleh wanita.
Menurut hasil riset Nasiri dalam Disertasinya yang berjudul “Kawin Misyar: Pandangan Kiai NU tentang Praktek Kawin Misyar di Surabaya, pada bab sejarah munculnya kawin Misyar, Nasiri menjelaskan bahwa kawin Misyar di Kawasan Timur Tengah wajar terjadi karena budaya Arab yang sangat menjunjung tinggi sistem patriarkhi. Dimana kaum laki-laki sangat mendominasi kaum perempuan hatta dalam urusan rumah tangga. Para wanitanya sangat tertutup dan tidak boleh keluar rumah. Mereka hanya berdiam di rumah sambil siap-siap melayani jika suatu waktu suaminya memerlukan dia.
Nasiri melanjutkan, mahar perkawinan di Timur Tengah sangat mahal sehingga membuat banyak pria tidak mampu membayarnya. Selain itu, calon suami juga harus menyiapkan rumah atau apartemen dan kendaraan, plus simpanan deposito bagi calon isteri. Hal ini membuat banyak pria kesulitan mendapatkan jodoh dalam kehidupannya. Akibatnya, banyak pria yang melakukan perilaku seks menyimpang dan kaum perempuan banyak yang merelakan dirinya untuk di madu. Di Arab Saudi, banyak perempuan yang merelakan dirinya jadi isteri kedua, ketiga, dan keempat. Hal ini terjadi karena tradisi patriarkhi memang berkembang kuat di sana, di samping juga karena Islam memperbolehkan laki-laki berpoligami.
Untuk memperkuat informasi di atas, lebih lanjut Nasiri mencoba menggali informasi dari Abd Raziq, salah seorang mab’uts Jami’ al-Azhar di Indonesia. Abd. Raziq menuturkan bahwa dalam hal perkawinan, para wanita Timur Tengah memperoleh posisi tawar yang sangat kuat. Mereka berhak untuk menentukan calon suami dan juga berhak menentukan jumlah nominal biaya yang harus disediakan oleh claon suami. Menjelang perkawinan, orang tua wanita lazim meminta mahar dalam jumlah yang sangat besar, jika tidak bisa, perkawinan dapat dibatalkan meskipun secara hukum dan agama perkawinan tersebut sudah sah.
Melihat realits seperti itu, banyak pria mengeluhkan tradisi tersebut karena mereka merasa berat untuk memenuhi apa yang diminta calon mertua. Kebanyakan pria Mesir menunda dulu perkawinannya sampai ia mampu memenuhi harapan calon mertua sehingga banyak yang menikah dengan usia yang tidak sama. Ketika melakukan perkawinan, semua dihadiahkan kepada keluarga isteri, diatasnamakan keluarga ataupun isterinya. Bila terjadi perceraian, sang suami bakal jatuh miskin karena diusir sang isteri dari rumah yang dibelinya karena rumah dan semua perabotnya sudah dimiliki oleh isteri. Bisa-bisa ia keluar dari rumah hanya dengan bekal pakaian seadanya.
Itulah sekilas gambaran situasi dan kondisi masyarakat Mesir terkait dengan masalah perkawinan. Kondisi ini menyebabkan laki-laki Arab tidak mau pusing dengan urusan mahalnya mahar wanita Arab, sehingga kebanyakan dari mereka menikahi wanita-wanita Ajamiyah wanita non- Arab yang maharnya lebih murah dan dapat diatur. Sementara kaum perempuannya –khususnya sejak memasuki abad ke-20- mencari laki-laki yang bersedia menjadi suaminya dan tidak dikenai biaya hidup sama sekali. Kasus semacam inilah yang  sering terjadi di Timur Tengah saat ini.
Dalam menanggapi model perkawinan seperti ini, Al-Qardawi pun menganalisis masalahnya dan memutuskan bahwa model perkawinan tersebut diperbolehkan, asalkan dilakukan sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Model perkawinan seperti itu, Yusuf Qardawi menamainya dengan Zawaj al-Misyar (kawin Misyar).
Wallahu a’lam
Surabaya, 21 April 2016