Pandangan Kiai NU terhadap Fenomena Kawin Misyar di Surabaya

Kawin Misyar yang diperkenalkan oleh Syaikh Yusuf Qardawi di kawasan Timur Tengah pada tahun 1999 dengan kitabnya yang berjudul Zawaj al-Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu itu ternyata sudah dipraktekkan oleh wanita karier kota besar di Indonesia. Di surabaya misalnya, sebagaimana hasil penelitian Disertasi oleh Nasiri membuktikan praktek kawin Misyar itu telah terjadi.
Berdasarkan penelusuran dan wawancara Nasiri dengan beberapa pelaku kawin Misyar, dia mendapatkan berbagai macam motif mengapa mereka melakukan praktek kawin Misyar. Mimi (wanita single parent yang kaya raya) mengungkapkan alasan mengapa ia memilih model kawin Misyar, karena ingin terbebas dari hegemoni suami. Dia tidak mau diatur-atur oleh suami dan tidak mau ribet dengan urusan suami. Perkawinan Misyarnya ini tidak bertahan lama, karena itu, ia memilih berpisah dengan suami Misyarnya dan melanjutkan hidup secara mandiri. Begitu juga alasan yang disampaikan oleh Titin (wanita keturunan Arab yang menjanda selama 5 tahun) memilih Kawin Misyar agar terhindar dari hegemoni suami. Riwayat pernikahan Misyarnya pun sama seperti yang dialami oleh Mimi, tidak bertahan lama.
Lain lagi dengan Ira, wanita single parent berparas cantik yang memiliki toko mas ini, memilih kawin Misyar karena mirip dengan kawin sirri yang tidak perlu didaftarkan ke Kantor Urusan Agama. Ia melakukan kawin Misyar beberapa kali dan berujung dengan perceraaian.
Sementara Susi, wanita cantik yang sudah bersuami dan suaminya tinggal di luar kota, memilih kawin Misyar karena proses perceraiannya mudah selesai dan tidak ribet. Perkawinan Misyarnya pun berakhir dengan perceraian. Mumun, janda ratu kos-kosan asal Batak, sependapat dengan Susi. Memilih nikah misyar karena proses perceraiannya tidak ribet. Ia telah melakukan kawin Misyar beberapa kali dengan beberapa Brondong, namun selalu berakhir dengan perceraian.
Adapun Rika, seorang janda asal Pasuruan, beranggapan bahwa kawin Misyar mempermudah mengganti pasangan hidup, walaupun sampai sekarang dia masih bertahan dengan suami Misyarnya. Sama dengan Rika, Lela seorang gadis langsing berusia matang, beralasan mudahnya gonta ganti pasangan. Adapun perkawinan yang dia lakukan bertahan hanya beberapa bulan.
Lain Rika, Lela, lain pula Suti, janda 2 orang anak asal Pasuruan, memilih nikah Misyar untuk memperbaiiki keturunan. Ia kawin dengan lelaki Arab memiliki 2 orang anak dan perkawinannya bertahan dua tahun.
Itulah fenomena kawin Misyar di Surabaya, jika disimpulkan mengenai alasan yang melatarbelakngi mereka melakukan kawin Misyar adalah sebagai berikut; 1) agar nafsu biologis terpuaskan, 2) terbebas dari hegemoni patriarkhi, suami, 3) agar leluasa menentukan pasangan, 4) mudah proses cerainya, dan 5) memperbaiki keturunan.
Dari fenomena kawin Misyar wanita karier Surabaya tersebut, beberapa ulama NU Surabaya yang ditemui oleh Nasiri memberikan pandangannya  sebagai berikut:
1) KH. Imam Syuhada, KH. Azhari Sofwan dan KH. Abdul Malik memiliki pendapat yang sama yakni kawin Misyar tidak boleh dilakukan (haram) secara mutlak, karena sudah melenceng dari tujuan awal di syari’atkannya perkawinan dalam Islam. Tujuan perkawinan, selain membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, juga untuk memberikan keturunan. Dalam prakteknya, kawin Misyar dijadikan sebagai lembaga pelegalan prostitusi dan ajang pemerasan, sehingga tidak boleh dilakukan oleh siapa pun juga. Mereka ini, dalam kategorisasi Abid al-Jabiri termasuk dalam corak pemikiran bayani/Tekstual/Gnostik. 
2) KH. Sa’dullah, KH. Makruf Khozin, dan KH. Ali Maghfur Syadzili berpandangan bahwa kawin Misyar boleh dilakukan di Timur Tengah tapi tidak boleh dilakukan di Indonesia. Mereka beralasan bahwa kultur masyarakat Timur Tengah berbeda dengan kultur masyarakat Indonesia. Perbedaan kultur menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda, sebab hukum itu akan selalu dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Artinya, perkawinan Misyar boleh dilakukan di Timur Tengah tapi tidak boleh dilakukan di Indonesia. Pandangan kiai seperti ini dapat dikategorikan sebagai corak pemikiran Positivistik.
3) KH. Zainal Fatah, KH. Abd. Wafi Sholeh berpendapat bahwa kawin Misyar boleh dilakukan (halal) secara mutlak oleh siapu saja dan dimana pun baik di Timur Tengah maupun di Indonesia dengan alasan bahwa praktek kawin Misyar itu sudah memenuhi unsur-unsur perkawinan dalam Islam, hanya saja tidak dicatatkan di KUA. Nasiri mengkategorikan pandangan dua kiai ini dengan istilah corak pemikiran retorik.
4) Prof. KH. A. Faishol Haq dan KH. Nasir Abdillah memberikan tanggapan bahwa kawin Misyar tidak boleh dilakukan kecuali di Timur Tengah dengan syarat-syarat yang ketat. Karena menurut mereka berdua dampak negatif dari kawin Misyar itu lebih besar dari pada dampak positifnya. Pada prakteknya, kawin Misyar tidak boleh dilakukan kecuali bagi orang Timur Tengah yang melakukannya di Timur Tengah. Itu pun harus memenuhi syarat-syarat yang ketat. Corak pemikiran kedua kiai ini digolongkan dengan corak pemikiran yang bersifat demonstratif.
Demikian pemikiran, pandangan, pendapat para kiai NU Surabaya menjawab realitas perkawinan  Misyar yang dilakukan oleh wanita karier Surabaya menurut penelitian Nasiri dalam disertasinya yang berjudul, “Kawin Misyar; Pandangan Kiai NU Mengenai Fenomena Praktek Kawin Misyar di Surabayaâ€�.
Wallahu a’lam.
Surabaya, 22 April 2016