Pemikiran Abed al-Jabiri tentang Nalar Arab

Abed al-Jabiri dilahirkan di Figuig atau Fejij (Pekik) bagian tenggara Maroko 27 Desember 1935 ada yang mengatakan 1936. Al-Jabiri termasuk pemikir kontemporer Islam. Ia melihat perkembangan bangsa Arab akhir-akhir ini mengalami kemandekan. Diskursus kebangkitan Arab yang dicanangkan, belum memperlihatkan tanda-tanda kearah yang menggembirakan, malah terkubur dengan berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh Negara-negara Arab, baik persoalan ekonomi, budaya, politik dan lain-lainnya.

 

Melihat keadaan bangsa Arab yang sedemikian carut marut, Muhammad Abed Al-Jabiri, menawarkan sebuah solusi untuk keluar dari keterkungkungan berpikir bangsa Arab. Ia memperkenalkan metode berpikir berupa rekonstruksi epistemology sebagai alat bantu untuk membangun keilmuan keagaamaan, yaitu epistemology bayani, irfani dan burhani. Epistemology yang dimaksud disini adalah tata cara atau sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Ketiga epistemology di atas, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut, yaitu:
1.   Epistemology bayani, yaitu pola pikir yang bersumber pada teks al-Qur’an, hadist, ijma’, dan ijtihad. Menurut al-Jabiri, otoritas kebenaran terletak pada teks wahyu, sementara posisi akal dijadikan sebagai perangkat pembedah kebenaran yang terdapat pada teks tersebut. Jadi akal hanya digunakan sebagai sarana untuk memperjelas makna teks.
2.   Epistemologi burhani, sebaliknya, yaitu pola pikir yang berdasarkan pada kekuatan natural manusia berupa indra, pengalaman empiric dan akal dalam mencapai pengetahuan. Sumber utamanya realitas atau al-waqi’ah. Jadi kebenaran itu diperoleh melalui hasil percobaan, hasil penelitian, eksperiment, baik di laboratorium ataupun di alam nyata.
3.  Epistemology Irfani, dalam bahasa Arab searti dengan makrifat, berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung dengan obyek pengetahuan. Hal ini bersumber pada intuisi, bukan pada teks.
Dengan menggunakan ketiga nalar epistemology tersebut, diharapkan dapat membongkar eksklusivisme, ketertutupan dan kekakuan disiplin ilmu keagamaan yang selama ini dipahami oleh umat Islam.
Untuk mencapai kesimpulan seperti itu, al-Jabiri telah menelaah karya-karya para intelektual terdahulu. Sebut saja dalam membangun epistemology bayani, al-Jabiri telah menelaah karya Ibnu Mandzur kamus yang berjudul Lisanul Arab membagi makna al-Bayan menjadi empat; al-fashal wa al-infishal, secara hirarkis sebagai metode, dan al-Dhuhr wa al-Idhhar sebagai visi (ru’yah). Sedangkan Imam Syafi’i sebagai perumus nalar Arab-Islam telah menetapkan metode qiyas sebagai acuan untuk menafsirkan terks-teks suci.
Untuk memperkuat nalar burhani-nya, al-Jabari berguru pada Ibnu Rusyd. Sementara al-Muhasibi, dijadikan rujukan oleh al-Jabiri untuk memperkuat nalar irfani. Al-Muhasibi mengatakan bahwa terdapat konsep dhohir dan bathin. Dhohir itu bacaannya dan bathin itu ta’wilnya.
Menurut al-Jabiri, dalam mengkaji ajaran Islam, kerangka teori filsafat ilmu yang ditawarkan oleh filsuf Barat seperti rasionalisme, empirisme, pragmatisme, itu lebih tepat untuk kajian social science, humanities, dan natural science. Sementara kajian keislaman klasik itu berupa classical humanities, itu hanya bisa didekati dengan perangkat epistemology bayani, burhani dan irfani ala al-Jabiri. Hehehe. Masak sih! Sila’ dikoment mas bro…
Wallahu a’alm
Surabaya, 25 Oktober 2015