Dosen dalam Perspektif UU No.14 Tahun 2005 Dan PP No. 37 Tahun 2009



Dosen PAI STIT Bima

Syukri Abubakar. Pada sesi ini yang menyampaikan materi adalah Prof. Dr. Ishom Rizki, Kasubdit Ketenagaan Diktis. Dalam paparannya, paling tidak, beliau menjelaskan dua hal penting, yaitu;

Pertama, berkaitan dengan posisi PTK (Perguruan Tinggi Keagamaan) Kemenag. Beliau menginformasikan bahwa saat ini posisi PTK Kemenag masih menunggu restrukturisasi Kementerian Ristek dan Dikti. Masih dalam diskusi insya Allah bulan desember kelar, begitu jelasnya.

Hasil diskusi kecil-kecilan menginginkan Pendidikan Tinggi Agama tetap di bawah naungan Kemenag RI dengan konsekwensi membuat dirjen tersendiri terpisah dari pendidikan dasar dan menengah. Jika bergabung dengan Kemenristekdikti, maka PTK menjadi dirjen tersendiri disana. Diharapkan dengan bergabung disana, bisa menguntungkan perkembangan PTK baik dari segi kelembagaan maupun pendanaannya.

Kedua, berkaitan dengan tenaga dosen. Dalam penjelasannya, dosen yang dilihat dalam Perspektif UU 14 tahun 2005 dan PP 37 tahun 2009, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Masalah pengangkatan, terdapat perbedaan antara dosen PNS dengan dosen swasta. Kalau dosen PNS, regulasi pengangkatannya sudah memiliki regulasi yang baku. Sementara pengangkatan dosen swasta belum memiliki regulasi yang strik tentang itu. Kebanyakan dosen swasta diterima menjadi dosen, khususnya PTKIS kecil, disesuaikan dengan kebutuhan Perguruan Tinggi Agama untuk mengisi kekurangan dosen tetap yayasan dan menambah jumlah dosen yang berkualifikasi s2 dan s3. Dalam penerimaan dosen PNS, juga memiliki persoalan. Tunjuk misal, test TKD (test kemampuan dasar) seperti test potensi akademik lulus, tapi ketika ditest kemampuan khususnya sesuai dengan keahliannya, banyak yang tidak lulus. Beliau bercerita terdapat lulusan al-Azhar Mesir mengikuti test PNS dosen sampai tiga kali selalu tidak lulus. Itu karena lulusan al-Azhar Mesir tidak memperhatikan kemampuan test potensi akademiknya, sementara kemampuan khusus mereka seperti penguasaan kitab kuning, tidak diragukan lagi. Jadi menurutnya, perlu melihat kembali regulasi tersebut sehingga pegawai yang diangkat benar-benar ahli dalam bidangnya.
Masalah penempatan dosen, khususnya dosen PNS, kadang-kadang tidak sesuai dengan keinginan dosen yang bersangkutan. Misalnya orang Jawa ditempatkan di PAPUA. Hal ini akan mengakibatkan ketidakseriusan yang bersangkutan dalam mengajar karena memikirkan keluarganya yang jauh sehingga yang dipikirkan adalah segera pindah dari lembaga itu. Beliau bercerita bahwa banyak dosen yang ditempatkan di luar Jawa tidak begitu betah tinggal disana, disana mereka tidak membangun rumah, mereka kebanyakan tinggal di kos-kosan atau tinggal di masjid sekaligus sebagai takmir masjid.
Masalah pemindahan dosen atau mutasi dosen juga belum ada aturan yang jelas khususnya di PTKIS sehingga ke depan perlu dibuatkan aturan main yang baku. Beliau bercerita, pernah ada seorang dosen sertifikasi berseberangan dengan ketua Yayasan tempat dia mengajar, lalu dia dikeluarkan dari lembaga tersebut. Dia kemudian bertanya ke Dirjen Diktis mengenai nasib sertifikasinya. Dirjen Diktis menyarankan agar mengajar di Perguruan Tinggi lain agar kuntinyuitas laporan BKD-nya tetap berjalan.
Yang terakhir masalah pemberhentian dosen. Kebanyakan PTKIS belum memiliki kontraktual kerja antara dosen dan Ketua yayasan yang jelas tentang pemberhentian. Alasan-alasan apa sehingga seorang dosen itu bisa diberhentikan.
Bagi dosen yang tidak memenuhi kualifikasi akademik, tidak memiliki empat kompetensi (paedagogik, profesional, kepribadian dan sosial) dan tidak memiliki sertifikat pendidik dalam jangka 10 tahun sejak diundangkan UU no 14 tahun 2005, maka dia akan dialihtugaskan pada pekerjaan selain dosen, diberhentikan segala tunjangannya, dan akan diberhentikan dari jabatan dosen.
Sedangkan tahapan sanksi bagi dosen yang melanggar aturan main adalah berupa Teguran, Peringatan tertulis, Penundaan pemberian hak dosen, Penurunan pangkat dan jabatan akademik, Pemberhentian dengan hormat, dan Pemberhentian dengan tidak hormat.
Dalam sesi Tanya jawab berkembang beberapa persoalan diantaranya mengenai; keinginan untuk memiliki lembaga akreditasi mandiri Kementerian Agama. Banyak lembaga PTKIS mengeluhkan standard akreditasi yang diterapkan oleh BAN-PT kepada semua Perguruan Tinggi tanpa membedakan antara yang mapan dan yang belum. Seharusnya, menurut peserta Raker, dibedakan nilainya antara Perguruan Tinggi yang sudah mapan seperti PTN dengan Perguruan Tinggi kecil seperti kebanyakan PTKIS. Dalam menjawab keluhan tersebut, narasumber menegaskan bahwa sedang digagas lembaga Akreditasi Mandiri oleh pak Mastuki yang akan menilai akreditasi kampus sehingga antara kampus yang maju dengan yang tidak akan lain nilainya. Mudah2an tahun depan bisa terwujud. Jelasnya.
Dalam rangka peningkatan kualitas keilmuan dosen, menteri agama mencanangkan program seribu doktor yang dimulai pada tahun 2015 yang akan datang. Oleh karenanya, diharapkan kepada pimpinan PTKIS agar mendorong dosen-dosennya untuk mengikuti program tersebut. Dosen saat ini mau tidak mau harus meneruskan sampai s3 karena itu adalah amanat UU. Jika tidak melanjutkan ke jenjang s3, maka banyak haknya yang akan hilang. Misalnya untuk mendapatkan kepangkatan IVa, seorang dosen harus menyertakan ijazah s3.
Beliau juga menambahkan bahwa kedepan diharapkan semua Kopertais dapat menjadi satuan kerja tersendiri sehingga keuangannya tidak lagi menginduk ke UIN. Menurut beliau, keinginan tersebut sedang diusulkan ke Menpan, mudah-mudahan bisa diterima. Menanggapi persoalan ini, Sekretaris Kopertais menegaskan, jika kopertais menjadi satker tersendiri, maka anggaran yang disiapkan oleh Menpan sangatlah banyak, mengingat jumlah kopertais yang begitu banyak. Jika hal ini terjadi, mau tidak mau Menpan harus menyiapkan dana yang lumayan besar untuk pembelian lahan dan membangun gedungnya serta penambahan tenaga kepegawaian.  

Wallahu a’lam
Kuta Bali, 1 Nopember 2014