Diskusi Fitua: Membincang Nur Muhammad dalam Kitab Daqaiqul Akhbar

STIT SUNAN GIRI BIMA, KOTA BIMA. Diskusi Fitua untuk yang ketiga kalinya diselenggarakan pada Ahad, 16 Februari 2020 di STIT Sunan Giri Bima. Diskusi kali ini membedah Nur Muhammad yang terdapat dalam kitab klasik Daqaiqul Akhbar, dengan menghadirkan beberapa narasumber pegiat Fitua Mbojo.

Aba Du Wahid menginformasikan bahwa di Bima, kitab tersebut telah diterjemahkan oleh TGH. Fadhil Sape yang penerbitannya akan diupayakan secepatnya. Dalam pembacaannya, kitab ini membahas mengenai esoterisme Islam yang dikaji di beberapa pesantren di Jawa yang berafiliasi dengan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Kitab serupa misalnya, Syamsul Ma’arif, Sirrul Asrar, Dalailul Khairat, Minhajul Abidin, dan lebih banyak lagi yang kesemuanya itu mewacanakan idealisasi pribadi Nabi sebagai insan Kamil.

Kitab Daqaiqul Akhbar menurut Abadu merupakan kolaborasi dari kitab Insan Kamil al-Jilli. Ia mengelaborasi jalur keilmuannya melalui Ibnu al-Arabi. Ibnul Arabi sendiri meniru cara berpikir filsafat neoplatonus di dunia Barat dan cara berfikir al-Farabi di Arab dalam mengembang kajian tasawufnya sehingga pengaruhnya begitu luas dalam dunia Islam dan yang bisa menandinginya adalah Imam al-Ghazali.

Daqaiqul Akhbar disusun oleh Syekh Abdurrahim bin Ahmad al-Qadhi. Bab pertama membahas mengenai Nur Muhammad yang juga dikaji dalam Fitua. Ada 3 hal yang dapat dipetik dari pembahasan bab pertama ini, yaitu bahwa Nur Muhammad merupakan sebab awal atau asal muasal dari terciptanya langit dan bumi dan semua yang ada di alam ini.

Dijelaskan; “Imam Abdurrahim bin Ahmad al-Qadhi berkata: Ruhul A’dzam (ruh yang agung) adalah Nur Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan dalam suatu khabar :Sesungguhnya Allah Swt telah menciptakan sebuah pohon yang memiliki 4 (empat) cabang. Pohon tersebut dinamakan شجرة اليقين (pohon yakin). Setelah itu Allah Swt menciptakan Nur Muhammad pada tempat yang terbuat dari mutiara yang berwarna putih dan berbentuk menyerupai الطاوس (burung merak), kemudian burung merak tersebut ditempatkan di pohon yaqin dan bertasbih selama 70.000 tahun.

Kemudian Allah menciptakan مرأة الحياة (cermin kehidupan) dan diletakkan dihadapan الطاوس (burung merak) tersebut. Ketika burung merak menghadap ke cermin, terlihatlah wajahnya yang sangat elok, kemudian merasa malu kepada Allah Swt, sehingga meneteslah keringatnya sampai enam tetesan.
Oleh Allah Swt ke enam tetesan tersebut akan dijadikan sebagai berikut: 1) Abu Bakar Ash-shiddiq, 2) Umar bin Khattab, 3) Utsman bin Affan, 4) Ali bin Abi Thalib, 5) Diciptakan bunga mawar, 6) Diciptakan padi……….dan seterusnya.

Pada paragraf terakhir dijelaskan bahwa nama Ahmad dan Muhammad memiliki makna tersendiri. Nama Ahmad dikaitkan dengan perintah sholat, karena Allah Swt. memerintahkan sholat seperti gambar dalam tulisan AHMAD (أحمد), yakni; berdiri seperi huruf alif, rukuk seperti huruf ha’, sujud seperti huruf mim dan duduk seperti huruf dal.

Sementara nama Muhammad dikaitkan dengan bentuk tubuh manusia menyerupai tulisan MUHAMMAD “محمد” (coba imajinasikan tulisan tersebut secara vertikal) yakni; kepala berbentuk bulat, seperti huruf mim yang pertama, badan seperti huruf ha’, perut seperti huruf mim yang kedua dan kedua kaki, seperti huruf dal.

Konsep Nur Muhammad sebagaimana diungkapkan di atas ditolak oleh sebagian kalangan dengan berbagai alasan. Ada yang berpendapat bahwa riwayat yang dijadikan rujukan sangat lemah sebagaimana uraian di atas, karena periwayatan sebuah hadist harus dibarengi dengan sanad yang bersambung hingga Nabi Muhammad Saw., matan yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan akal pikiran dan perawinya dapat dipercaya. Sementara dalam kitab tersebut hanya disebutkan riwayat dari khabar yang tidak dicantumkan sanad dan perawinya.

Selain itu, bertentangan dengan informasi yang disampaikan oleh al-Qur’an tentang penciptaan manusia. Ada yang mengatakan terpengaruh oleh ajaran Syi’ah, pemikiran yang melewati batas, dan berpeluang ke arah paham wahdatul wujud.

Bagi pegiat Fitua, shahih tidaknya khabar tersebut tidaklah penting,  karena ilmu itu tidak hanya diperoleh melalui ilmu bayani dan burhani saja tapi bisa diperoleh langsung dari Allah Swt. dengan jalan mukasyafah (irfani).

Begitupun bagi kalangan Aswaja bahwa konsep Nur Muhammad tidak perlu dibikin ruwet karena sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Madarijus Shu‘ud ila Iktisa’il Burud
bukan qadim sebagaimana keqadiman sifat Allah Swt. Nur Muhammad adalah makhluk pertama kali Allah ciptakan sebelum menciptakan makhluk lainnya.  Dalam kitab Qashidah Barzanji disebutkan:

أصلي وأسلم على النور الموصوف بالتقدم والأوليه

“Aku mengucap shalawat dan salam untuk cahaya yang bersifat terdahulu dan awal”. (Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/99346/nur-muhammad-dalam-kitab-barzanji).

Kaitan dengan “pohon keyakinan” sebagaimana yang termaktub dalam kitab Aaqaiqul Akhbar, Fahru Rizki memiliki pengalaman ketika berkunjung di Lambitu bahwa ketika ada aktifitas menebang sebuah pohon besar berumur ratusan tahun, mereka melakukan ritual khusus membaca Barzanji karena mereka meyakini didalam pohon itu terdapat cahaya. Ritual membaca Barzanji itu dilakukan selama tujuh hari dengan syair-syair Nabi Muhammad dan Syair-syair Naqsabandiyah.

Keyakinan seperti ini juga, jelas Fahru lebih lanjut, termaktub dalam gelar Muhammad Syah yang disematkan pada 5 orang sultan Bima. Dalam tradisi Aceh, Syah artinya tercerahkan oleh cahaya. Terhidayahkan dengan cara-cara mereka memimpin. Begitupun dengan gelar Dhillullah fil Alam, bayangan Allah dimuka bumi yang menjelaskan bahwa seorang sultan adalah panutan yang harus diikuti perintah-perintahnya karena merupakan kepanjangan tangan Tuhan di Bumi.

Bagi bang Damar jika adaNur ada Dhulumat, ada cahaya ada kegelapan. Orang-orang yang berfikir tentang Tuhan dan para Nabi, maka Nur Muhammad ini adalah sebuah penamaan yang diberikan oleh orang-orang  yang berfikir. Nur Muhammad itu ada dalam semua aspek kehidupan, segala nilai, pengetahuan dan segala perwujudan. Makanya pemimpin dulu diupayakan mendekati sosok Nur Muhammad.

Nur Muhammad dan ilmu pengetahuan, menurutnya, akan lebih baik jika dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Ia mencontohkan sosok  Nabi Muhammad Saw. yang tidak hanya bertahannus di gua Hira tapi bermu’amalah membaur dengan masyarakatnya. Wallahu a’lam.

Syukri Abubakar