Kesultanan Bima: Masa pra Islam sampai Awal kemerdekaan (3)

Masuknya Islam di Bima

Berbicara mengenai masuknya Islam di Bima, terdapat beberapa pandangan tentang hal ini. H.Zollinger sebagaimana dikutip oleh Braam Morris menyatakan bahwa Islam masuk Bima pertama kali antara tahun 1450-1540, sultan Bima pertama adalah Abdul Galir (Abdul Kahir). Agama tersebut dibawa oleh muballigh dari Makassar. hal. 53.

Helius Syamsuddin menjelaskan bahwa setelah jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Protugis pada tahun 1511 M, para saudagar dari Jawa atau Sumatera mencari daerah baru untuk tujuan dagang. Daerah tersebut adalah Maluku yang terkenal dengan komoditas rempah-rempahnya. Ketika para saudagar tersebut hendak ke Maluku, mereka terlebih dahulu singgah di Bima untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam, begitupun ketika mereka kembali, tidak lupa singgah lagi di Bima untuk melakukan hal yang sama. hal. 53.

Tomepires melaporkan bahwa rute pelayaran perdagangan dari Malaka ke Maluku atau sebaliknya melewati Jawa dan Bima. Di Bima para pedagang menjual barang-barang yang dibawa dan dibeli di Jawa, kemudian membeli pakaian (kain kasar) dengan harga murah untuk dijual (ditukar) dengan rempah-rempah di Banda dan Maluku. Beberapa produk yang dieksport dari Bima dan Sumbawa pada saat itu menurutnya diantaranya kuda, daging, budak, dan kayu celup.

Dalam babad Lombok dijelaskan bahwa Islam dibawa ke Lombok oleh Sunan Prapen dari Giri (Gresik). Setelah berhasil mengislamkan Lombok, Sunan Prapen bergerak ke timur untuk mengislamkan Sumbawa dan Bima. Menurut HJ. de Graaf, peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sunan Dalem di Giri antara tahun 1506-1546. Namun sayang, jejak pengislaman sultan Prapen ini tidak banyak diungkap oleh sumber lokal Bima sehingga kesulitan untuk mengidentifikasinya, misalnya dimana sunan Prapen berlabuh, dengan siapa ia berkomunikasi dan siapa saja yang berhasil diajaknya masuk Islam. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan data yang valid.

Rouffaer berpendapat bahwa Islam di Bima berasal dari Melayu, Aceh dan Cirebon. Pendapatnya ini didasarkan pada inskripsi-inskripsi yang tersebar di Bima yang kebanyakan berbahasa Arab dan Melayu, bukan aksara Bima dan bahasa Bima dan bukan juga aksara bugis dan bahasa Bugis. Muballig-muballig ini datang pada masa pemerintahan Raja Manuru Sarei sekitar tahun 1605 M. Ditambahkan juga bahwa Qadhi Jamaluddin, ulama yang pernah menjadi guru agama sultan Abdul Kahir, yang dimakamkan di pemakaman Danatraha Kelurahan Dara adalah orang Melayu.(hal.55). Hal ini diperkuat juga dengan adanya kampung Melayu yang dihuni oleh orang-orang Melayu, disebelah Timur pelabuhan Bima hingga saat ini. Orang-orang Melayu ini, oleh sultan diberikan keistimewaan seperti tidak dipungut pajak, tidak diijinkan untuk menjadi pelayan di istana, dan diberi kebebasan untuk mengatur perkampungan mereka menurut hukum Islam. Di kampung Melayu juga terdapat sebuah Langgar Kuno yang berumur ratusan tahun yang dimimbarnya terdapat plang yang tertulis tahun 1608 M.

Putri Maryam R. Salahuddin (Ina Kau Mari) merujuk pada “BO Sangaji Kai” menyebutkan bahwa muballigh datang ke Bima pada bulan Rabiul Awal 1018 H bertepatan dengan bulan Juli 1609 M. Mereka adalah Datuk ri Bandang seorang bangsawan Minangkabau dari Pagaruyung dan Datuk ri Tiro orang Melayu yang datang dari Sumatera. Mereka berdua diutus oleh sultan Gowa sebagai penyebar agama Islam dan menjadi guru agama sultan Abdul Kahir. Catatan tersebut berbunyi: “Hijratun Nabi Saw. seribu sepuluh delapan tahun ketika itulah masuk Islam di tanah Bima oleh Datuk ri Bandang Datuk ri Tiro tatkala zamannya sultan Abdul Kahir”. Kedatangan kedua muballigh tersebut dalam BO menyebutkan dua tahun yakni tahun 1018 H (1909 M) dan 1050 H (1640 M). hal.58.

Ahmad Amin dalam bukunya “Sejarah Bima” dengan mengutip BO, ia menjelaskan bahwa ketika La Ka’i melarikan diri dari kejaran Salisi menuju Makassar melalui pelabuhan Nanga Kanda Sangiang Wera, bertujuan untuk meminta bantuan Raja Goa dalam usaha merebut kembali tahta kerajaan dari tangan pamannya. Sesampainya di Goa, la Kai menyampaikan maksud kedatangannya kepada raja Goa. Raja Goa pun setuju akan membantu dengan catatan, jika berhasil merebut kembali mahkota kerajaan Bima, raja Bima harus mengijinkan penyebaran agama Islam di Bima karena pada saat itu kerajaan Goa sudah menjadi kerajaan Islam dengan menerima Islam pada tahun 1605 M yang dibawa oleh Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro. Sebelum menyetujui persyaratan tersebut, La Ka’i mempelajari dan mendalami terlebih dahulu ajaran Islam. Setelah mengenal Islam, La ka’i menyetujuan persyaratan yang diajukan oleh raja Goa untuk menyebarkan agama Islam di Bima, bahkan La Ka’i dinikahkan dengan adik Iparnya, puteri dari Karaeng Kassuruang Sanra Bone. Dari hasil kesepakatan tersebut maka berangkatlah La Ka’i dengan bantuan pasukan kesultanan Goa menuju Bima yang pada akhirnya mahkota kerajaan Bima dapat direbut kembali walaupun dengan beberapa kali serangan.

Abdullah Tayeb, BA dalam bukunya ‘Sejarah Dana Mbojo” sebagaimana yang dirujuk oleh beberapa penulis sejarah Islam di Bima diantaranya M. Fachrirrahman menegaskan bahwa Islam masuk di Bima pada tahun 1028 H bertepatan dengan 1628 M. Catatan tersebut berbunyi: “Hijratun Nabi Saw. sanat 1028, 11 hari bulan Jumadil Awal telah datang ke pelabuhan Sape saudara Daeng Malaba di Bugis, Luwu dan Tallo, dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan Ci’lo dan kain Bugis juga suratnya saudara sepupu Ruma Bumi Jara di Bone bernama Daeng Malaba. Adapun surat itu menghabarkan bahwa orang-orang itu adalah berdagang Ci’lo dan kain dan keris serta membawa ajaran Islam”.

jika merujuk pada keterangan Abdullah Tayeb, BA diatas, maka kedatangan muballigh di Sape, kalau dilihat dari segi tahunnya 1028 H/1628 M, lebih dahulu dari kedatangan datuk ri Bandang dan datuk ri Tiro dari Makassar beserta sultan Abdul Kahir yang mengalahkan raja Salisi hingga dapat merebut kembali mahkota kerajaan pada tahun 1018 H/1609 M. Kemungkinan setelah Abdul Kahir memerintah Bima, terdapat beberapa muballigh yang datang silih berganti untuk menyebarkan Islam di Bima termasuk muballigh dari Goa tersebut. Perihal ini sekali lagi perlu penelusuran lebih lanjut.

Dari uraian di atas mengindikasikan bahwa masyarakat Bima sudah bersentuhan dengan ajaran Islam sejak tahun 1450-1540-an yang dibawa oleh saudagar-saudagar dari Melayu, Jawa kemudian dikembangkan lagi pada tahun-tahun setelahnya dengan Islamnya putera Mahkota La Ka’i Ma Bata Wadu pada tahun 1609 M sehingga berislamlah rakyat semuanya kecuali beberapa yang menolak. Hal seperti ini sudah menjadi umum pada masa lalu, jika rajanya menganut suatu agama, maka rakyatnya dengan sendirinya megikuti agama anutan rajanya. Wallahu a’lam.

Dara Bima, 2 Juni 2018