Kesultanan Bima: Masa pra Islam sampai Awal kemerdekaan (4)

Kesultanan Bima dan Pemerintahan Kolonial

 

Sebagaimana dijelaskan oleh Van Braam Morris dan L. Massir Q. Abdullah bahwa kontak pertama antara Bima dengan orang-orang Belanda telah dimulai sejak awal abad ke-17 ketika terjadi perjanjian lisan antara raja Bima Sarise atau raja Salisi dengan orang-orang Belanda bernama Seteven Van Hagen pada tahun 1605 M. Perjanjian tersebut disebut dengan “Sumpah Ncake”. (hal. 179). Lokasi Ncake terletak di kecamatan Belo, tepatnya di desa Cenggu. Namun Wilayah Ncake sendiri lumayan luas karena mencakup sebagian desa Roka, sebagian desa Cenggu dan sebagian desa Renda.

Apa yang dibicarakan pada sumpah Ncake belum terungkap sampai saat ini, namun menurut J. Noorduyn masa-sama berikutnya, tampak telah terjalin hubungan dagang antara Bima dengan VOC yang berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dagh-Register dicatat bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras, hewan ternak dan komoditas lainnya yang mereka tukar (barter) dengan pakaian, untuk memenuhi kebutuhan orang-orang (pegawai) VOC di Maluku. Kapal pertama yang dikirim adalah Arent dan Groene Leeuw, berangkat pada awal bulan September tahun 1618 dengan tujuan Solor. Kapal berikutnya kapal Nasau berangkat pada bulan Desember 1618 dan menyusul kapal Begerboot sebulan kemudian. (hal. 180).

Setelah beberapa kali kapal-kapal Belanda datang di Bima, masyarakat Bima mulai khawatir dan menaruh curiga kepada raja. Namun setelah mendengarkan berita itu secara utuh, kekhawatiran tersebut pun hilang bahwa orang Belanda dan Bima telah sepakat untuk membangun perdamaian dan persahabatan abadi serta saling membantu sebagaimana halnya perjanjian “sumpa Ncake”.

Hubungan Bima dengan Belanda secara politis dimulai ketika ditandatanginya perjanjian 1 Oktober 1669 antara Bima, Dompu dengan Kompeni yang diwakili oleh Admiral Speelman. Perjanjian ini dibuat berdasarkan keikutsertaan sultan Abil Khair Sirajuddin dengan kerajaan Goa dalam memerangi Belanda. Ketika itu, sultan Hasanuddin kalah perang melawan Belanda sehingga pada tanggal 18 Nopember 1667 ditandatanganilah sebuah perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Bongaya. Dalam perjanjian tersebut, terdapat empat pasal yang berhubungan langsung dengan kesultanan dan bangsawan Bima, yakni pasal 14, 15, 23, dan 27. Dalam pasal 15 dinyatakan: “Raja Goa akan berusaha menyerahkan raja Bima, raja Dompu, raja Tambora dan raja Sanggar, yang kesemuanya bersalah telah mengadakan pembunuhan atas orang-orang Belanda di Bima.” Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang Belanda telah bermukim di Bima sebelum tahun 1667 walaupun baru pada tahun 1675 VOC membangun lojinya (kantornya) di Bima.

Siti Maryam R. Salahuddin dalam bukunya yang berjudul “Bandar Bima” menjelaskan bahwa dalam kontrak tahun 1669 di atas, Bima memberikan kebebasan kepada kompeni Belanda untuk berniaga tanpa menarik cukai pelabuhan terhadap kapal-kapal Kompeni yang keluar masuk. Namun dalam perkembangan selanjutnya, terdapat ketentuan dalam “hukum bicara Undang-undang Bandar Bima” yang dikeluarkan pada tanggal 7 Sya’ban 1173 H (1759 M) bahwa kapal walaupun milik orang Belanda, jika muatannya 10 koyan (1 koyan = 2 ton atau 30 pikul) maka dipungut biaya 10 real (1 real = 1 rupiah Belanda) dan jika muatannya 2 koyan maka biayanya 20 real.

Perkembangan selanjutnya, Kompeni secara perlahan-lahan bermaksud menguasai kerajaan Bima, Dompu, Tambora, Sanggar dan Papekat dibawah kekuasaannya. Oleh karena itu, setiap pergantian raja atau sultan, dibuatkan kontrak baru antara raja/sultan dengan Kompeni dalam rangka memperbaharui dan memperkuat kontrak-kontrak terdahulu. Selain itu, pertikaian antar elit penguasa di pulau Sumbawa dan pergolakan politik yang terjadi baik disengaja direkaya oleh Kompeni ataupun yang bukan, memberi peluang yang cukup besar kepada Kompeni untuk memperkuat pengaruhnya dalam mencengkeram wilayah kekuasaan di pulau Sumbawa. Sebagai contoh konflik antara Bima dengan Dompu pada tahun 1691, dan 1771, konflik antara Bima dengan Tambora pada tahun 1695, konflik antara Tambora dengan Papekat pada tahun 1730, dan 1757, konflik antara Dompu dengan Tambora pada tahun 1748, konflik antara Dompu dengan Sanggar pada tahun 1767. Dalam situasi konflik seperti itu, Belanda memainkan perannya untuk memancing ikan di air keruh. Ketika terjadi pembunuhan terhadap permaisuri sultan Dompu pada tahun 1691, secara kebetulan sultan Jamaluddin sedang berkunjung kebibinya. Kesempatan itu, kemudian dipergunakan oleh Belanda (VOC) untuk menyingkirkan sultan Jamaluddin dari tampuk kekuasaannya, atas pengaduan sultan Dompu, gubernur VOC di Makassar memanggil sultan Jamaluddin ke Makassar lalu ditahan. Dari Makassar lalu dibawa ke Batavia dan ditahan disana sampai wafat pada tanggal 6 Juli 1696 dan dimakamkan di Tanjung Periok. Tiga tahun kemudian (1699) tulang belulangnya dipindahkan ke Bima dan dimakamkan di Tolobali berdampingan dengan makam gurunya Syeikh Umar al-Bantani. hal. 183-184.

Untuk memperkuat tampuk kekuasaannya di pulau Sumbawa, pemerintah VOC melakukan pendekatan dengan membuat kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh, pada tanggal 9 Pebruari 1765 pemerintah VOC di Makassar bersepakat dengan Abdul Kadim sultan Bima, Datu Jerewe sultan Sumbawa, Ahmad Juhain sultan Dompu, Abdul Said sultan Tambora, Muhammad Ja Hoatang sultan Sanggar, dan Abdul Rahman sultan Papekat, untuk secara bersama-sama dengan VOC memelihara ketenteraman, persahabatan, dan mengadakan persekutuan dengan VOC. Sebagai konsekwensi dari kontrak tersebut, kerajaan-kerajaan di pulau Sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan hubungan politik maupun dagang dengan bangsa Eropa selain Belanda, termasuk orang-orang Moor, Melayu, Jawa, Aceh dan Siam, kecuali atas ijin VOC di Makassar. Jika hal itu tidak dipatuhi, maka barang-barang dagangan mereka akan dirampas yang dibantu oleh raja-raja di pulau Sumbawa. hal. 188.

Akibat lebih lanjut dari kontrak tersebut, hubungan dengan orang-orang Makassar harus diputuskan dan diberhentikan. VOC menganggap orang-orang Makassar adalah pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dengan Makassar telah terjalin lama. Pasca terjadinya perjanjian Bongaya pada tahun 1667, bangsawan Makassar yang tidak senang dengan Belanda ramai-ramai meninggalka Goa pindah menuju Manggarai. Pada tahun 1701, orang-orang Makassar di Manggarai berhasil diusir. Namun hubungan orang Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan cara-cara kekerasan, karena hubungan keduanya tidak sekedar hubungan ekonomi dan politik tapi merupakan hubungan kekeluargaan melalui perkawinan antara elit penguasa Bima dengan putri bangsawan Goa. Pada tahun 1759 orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu, namun mereka tidak bertahan lama karena pada tahun 1762 dengan bantuan VOC, Bima dapat menguasai kembali Manggarai. hal.187.

Penetrasi kekuasaan Kompeni pada kerajaan di pulau Sumbawa pelan-pelan tapi pasti. Kompeni tidak hanya memonopoli hak perdagangan, tapi dalam perkembangan selanjutnya yang ditunjukkan oleh kontrak-kontrak yang dibuat menunjukkan bahwa Kompeni ikut campur dalam menentukan suksesi kepemimpinan dalam kesultanan Bima dan meneguhkan sultan-sultan baru. Sebagai contoh, sultan Alauddin Muhammad Syah (sultan ke-6) harus mendapatkan surat pengakuan dari gubernur VOC di Makassar. Demikian juga dengan sultan Abdul Hamid Muhammad Syah (sultan ke-9) dilantik di Makassar oleh gubernur VOC. Bahkan kompeni dapat memakzulkan sultan seperti yang dialami oleh sultanah ke-7 Kamalat Syah (1748-1751) karena kawin dengan Karaeng Kandjilo, seorang bangsawan Makassar tanpa seizin kompeni. hal. 191.

Tawalinuddin Haris menjelaskan bahwa dalam pasal 1 perjanjian tahun 1857 antara pemerintahan Hindia Belanda dengan Bima dinyatakan bahwa sultan dan para pembesar kerajaan Bima menyatakan untuk dirinya sendiri serta anak keturunannya, bahwa Bima dan daerah jajahannya adalah bagian dari Nederland-Indie dan selanjutnya ditempatkan ditempatkan dibawah kekuasaan Negeri Belanda. Demikian juga pernyataan sultan Abdullah, sultan Bima ke-11, bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah sebagai pelindung kami. hal. 192.

Memperhatikan uraian di atas, Tawalinuddin Haris menyimpulkan bahwa pemerintahan Kompeni pada awalnya mendekati raja-raja di pulau Sumbawa untuk melakukan kontrak-kontrak perdamaian menjaga keamanan masing-masing wilayah, kemudian dilanjutkan dengan kontrak dagang yang pada akhirnya jalur perdagangan berhasil dimonopoli oleh kompeni. Dalam perkembangan selanjutnya, kompeni berhasil pula menundukkan raja-raja di pulau Sumbawa di bawah kekuasaannya yang diikat dengan kontrak-kontrak yang dibuat antara kedua belah pihak maupun yang dibuat secara sepihak dipaksakan oleh Kompeni. Bahkan menurut Tawalinuddin Haris, setelah selesainya perang Ngali, perang Sapugara, perang Dena dan perang Kala, kekuasaan pemerintah kolonial Belanda semakin dominan, struktur pemerintahan kesultanan direstrukturisasi oleh Belanda, sultan Ibrahim hanya memegang kekuasaan atas wilayah Kadistrikan RasanaE saja dan setiap kebijakan sultan harus dilaporkan terlebih dahulu kepada kontroleur. Wallau a’lam.

Dara-Bima, 10 Juni 2018