Perempuan Mbojo Bima

Jika Dr. Hj. Siti Maryam R Salahuddin adalah sosok perempuan Bima yang mewakili generasi tua dalam ketelatenannya merawat peradaban Bima, maka menurut saya, sosok perempuan Bima yang mewakili generasi muda yang patut diulas adalah sosok yang sudah tidak asing lagi bagi kita, khususnya saya, karena ia adalah anak guru saya, kawan seperjuangan saya ketika menuntut ilmu, rekan sesama pendidik, isteri dari Abang sekaligus guru saya dalam segala hal. Disamping itu semua, ia adalah tipe petarung yang siap menghadapi cobaan dan rintangan, musibah dirasakan membawa berkah, fenomenal dalam dunia pendidikan, ilmuan sejati, memiliki integritas tinggi dan tidak gampang menyerah. Itulah menurut saya sekelumit gambaran yang mewakili sosok perempuan Bima yang satu ini. Dialah Atun Wardatun.
Ia oleh teman-teman seangkatannya biasa dipanggil Atun, oleh teman Jawanya dipanggil Tun dan oleh dia dan sang pujaan hati, setelah menikah, membuat panggilan baru dengan sebutan AW2. Saya sendiri mengenal namanya sejak sekolah di Madrasah Tsanawiyah Padolo Bima. Kala itu, namanya sering disebut dan menjadi buah bibir karena selalu mendapat rangking satu di kelasnya bahkan mendapat juara umum ketika lepas kelas tiga. Biasanya yang selalu mendapatkan rangking menjadi bahan pembicaraan di kalangan siswa yang lain, sehingga namanya tersiar. 

Selepas Tsanawiyah, bapaknya yang merupakan guru saya sampai sekarang, menghendaki dia untuk melanjutkan pendidikan di Pesantren. Tepatnya, Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang. Rencana bapaknya ini, menurut penuturannya, pernah ia tentang karena sekolah jauh-jauh di Jawa akan menghabiskan banyak uang. Ujarnya. Tapi karena ikhtiar bapaknya yang sudah bulat, rencana itu pun tetap berjalan. Bapaknya berkeyakinan bahwa orang yang menuntut ilmu itu akan selalu diberi jalan keluar oleh Allah Swt. dengan rejeki yang tanpa diduga darimana datangnya. Apalagi sejauh tanah Jawa, di negeri Cina pun kalo memang perlu belajar disana, kenapa tidak. Begitu kira-kira pemikiran yang tertanam dalam benak bapaknya.

Di pesantren ini banyak suka duka yang ia lalui, begitu juga banyak ilmu baru yang ia peroleh. Ilmu yang sebelumnya belum pernah diajarkan ditingkat Tnanawiyah atau sudah diajarkan tapi belum begitu paham maksudnya. Di pesantren ini, ia banyak berkenalan dengan teman-teman baru dari berbagai pelosok negri dan dari berbagai latarbelakang. Dari situ, ia banyak mendapatkan cerita dan pengalaman mengenai daerah masing-masing.

Bangun pagi-pagi untuk menunaikan sholat subuh, dilanjutkan dengan mengaji al-Qur’an dan kitab kuning. Ba’da dhuhur harus segera menuju sekolah untuk menggali ilmu agama dan umum. Sekembalinya dari sekolah, mengerjakan sholat magrib, lalu mengaji dan dilanjutkan dengan sholat isya kemudian belajar lagi hingga tengah malam. Di tengah malam tidak lupa bangun sholat tahajud. Itulah sebahagian rutinitas yang dilakukan oleh santri selama di pesantren. Dari pola didikan seperti ini, maka timbullah kemandirian, kedisiplinan, kesabaran, dan sifat-sifat baik lainnya yang selalu menempel dalam diri santri. 

Ia juga pernah bercerita kalau selama menimba ilmu di MAN Tambak Beras, selalu mendapatkan rangking. Sebuah ritual yang selalu ia usahakan diraih hingga dipendidikan Tinggi. Ketika mengenyam pendidikan di Jurusan Qadla’ Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 1993-1997, ia pun selalu medapatkan IP tinggi hingga ketika mengikuti tes cados IAIN Sunan Ampel Surabaya, ia adalah salah satu peserta yang mendapatkan nilai tinggi hingga pada tes yang terakhir tersisa dua orang. Saingannya adalah temannya sendiri, yang pada waktu itu sudah menjadi menantu rektor, hingga pada akhirnya, menantu rektor itulah yang lulus.

Ketidaklulusan ini tidak membuatnya putus asa karena ia yakin rejeki Tuhan masih terbuka lebar di tempat lain yang penting kita mau berusaha. Mengingat umur juga masih muda berarti perjalanan masih panjang.

Pendidikan s2 ditempuhnya di dua tempat. Pertama, pada jurusan hukum keluarga IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tamat tahun 2000. Kedua mendapatkan beasiswa fulbright pada Women’s and Gender Studies, University of Northern Iowa USA, tamat tahun 2006 dengan judul Tesis; Negotiating, Public and Private Spheres: Feminist Liberal Critics to the Contextual Issue of the Compilation of Islamic Law sin Indonesia. Tesis tersebut, saat ini sudah dicetak menjadi buku oleh PSW IAIN Mataram: 2007. 

Di tengah kesibukannya mengajar, sebagai seorang dosen ia juga punya tanggungjawab untuk melakukan penelitian. Maka pada tahun 2011 terbitlah buku yang berjudul Perempuan NTB Mendunia: Siapa Takut (Go International Women: Why Not?) (Mataram: Alam Tara Institute, 2011). Penerbitan buku ini, pernah saya dengar beritanya, tapi sampai sekarang saya belum memilikinya. Mudah-mudahan suatu saat saya bisa menikmat isinya. 

Keinginannya mencari ilmu begitu tinggi sehingga pada suatu saat di rumahnya di kawasan Pejeruk, ia bercerita bahwa ia ingin melanjutkan kuliah s3 di Australia, biar ada suasana yang berbeda, begitu kira-kira salah satu alasannya. Pada tahun 2012, keinginan tersebut terkabulkan dengan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia. Pada saat menerima program Australia Awards 2012 tersebut, ia berujar: “Saya akan pergi ke University of Western Sydney. Di sana saya akan attach (bergabung) di salah satu centre yang namanya Centre for the Study of Contemporary Muslim Societies [Pusat Kajian Masyarakat Muslim Kontemporer] dan ini terkait juga dengan program studi yang akan saya ambil Sosiologi Agama�. Pendidikan ini ditempuhnya sampai tahun 2016 pada the Religion and Society Research Centre, School of Social Sciences and Psychology, Western Sydney University, dengan judul disertasi Marriage Payment among Bimanese Muslim in Eastern Indonesia: Practice, Meaning and Impacts toward Gender Power Relation. Disertasi tersebut saat ini dalam proses terjemahan dan insya Allah akan dicetak oleh penerbit Bukudaku.

Disela-sela kesibukan menyelesaikan disertasi, ia mendapatkan cobaan dan ujian yang begitu berat yang belum pernah dialami sebelumnya, berupa musibah yang menimpa sang pujaan hati Aba du Wahid. Jalan cerita peristiwa tersebut, bagaimana mulanya, lalu dihadapinya secara bersama-sama hingga kesembuhannya, ia torehkan secara lengkap dalam buku yang diberi judul “Bukan Satu Mata�. Buku ini mendapatkan apresiasi yang sungguh luar biasa di kalangan keluarga, kerabat, teman, kolega dan banyak orang lagi sehingga cetakan pertama ludes tanpa sisa. Buku ini di bedah di Mataram, Bima dan Australia. Bahkan intelektual muda NU yang mengajar di Sidney yang memiliki ribuan follower di Fbnya menulis khusus di statusnya mengenai buku ini. Ia menilai buku ini sangat menginspirasi.

Saat ini dan seterusnya, berbagai kegiatan ilmiah akan mewarnai kehidupannya dalam rangka menggali dan berbagi ilmu. Itulah yang ia lakukan sejak kemarin sampai saat ini, karena memang sejak kecil, ia sudah diajarkan untuk selalu berbagi ilmu yang dimiliki walaupun satu ayat. Begitu juga ilmu itu bila tidak diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah. Artinya tidak memberi manfaat kepada orang yang lain. Padahal sebaik-baiknya manusia adalah yang paling memberikan manfaat kepada orang lain. 

Sekelumit gambaran di atas tentu saja belum mewakili sosoknya secara utuh. Itu hanya catatan sekilas yang dapat saya uraikan sesuai dengan ingatan dan pengetahuan saya tetang dirinya. Saya yakin masih banyak hal yang bisa diungkap lebih jauh terkait dengan kepribadian dan ketokohannya dalam bidang akademik dan keilmuan. Untuk itu, suatu saat nanti perlu observasi dan wawancara mendalam. Heheh.Wallahu a’lam.
‪I
Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar, 5 Juni 2016