Renungan Awal Ramadhan 1437 H

Mengawali Ramadhan tahun ini terasa beda karena saya harus melaluinya jauh dari keluarga. Tepatnya di kota pahlawan Surabaya. Pada malam pertama dan kedua, saya mengikuti taraweh di Masjid Ulul al-Bab Sunan Ampel Surabaya. Tujuan mengikuti taraweh disini adalah untuk mendapatkan kekhusuan sholat dan mendapatkan ilmu baru yang disampaikan oleh dosen-dosen UINSA Surabaya pada saat kultum.
Pada malam pertama, sebenarnya kultum disampaikan oleh rektor, namun karena beliau harus menghadiri undangan gubernur untuk membuka sholat tarawih disana, maka diganti oleh takmir masjid. 

Pada malam kedua, kultum diisi oleh Drs. H. Misbahul Munir, M.Ag. Dalam kultumnya, beliau menguraikan tafsiran ayat Qs. Al-Baqarah: 183.
Dalam menguraikan ayat di atas, beliau menjelaskan kata kunci-kata kunci. Kata kunci yang pertama, “al-Ladhiina Aamanuuâ€�, orang-orang yang beriman. Siapa orang-orang yang beriman ini?. Sebagaimana yang dijelaskan pada awal surat al-Baqarah, mereka adalah orang-orang yang beriman kepada hal-hal yang gaib. 

Hal pertama yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada umat Islam adalah terkait keberadaan perkara gaib. Ini sangat penting karena berhubungan dengan amal ibadah umat Islam secara keseluruhan. Bila umat Islam tidak percaya kepada hal yang gaib, maka keimanannya perlu dipertanyakan karena beberapa rukun iman terdiri dari beriman kepada hal yang gaib, yakni beriman kepada Allah Swt., beriman kepada malaikat, dan beriman kepada hari akhir. Jadi orang-orang yang diseru oleh al-Qur’an untuk melaksanakan ibadah puasa adalah orang-orang yang percaya akan rukun iman tersebut.

Kata kunci yang kedua “al-Shiyamâ€�. Ibadah puasa ini berbeda dengan ibadah lainnya. Ibadah puasa adalah ibadah sirri rahasia karena yang tau hanya kita dengan Allah Swt. saja. Ibadah sholat, misalnya, sudah ditentukan jumlah pahalanya. Sholat berjama’ah mendapatkan pahala 37 derajat daripada sholat sendirian. Sholat sunnah pada bulan ramadhan sama pahalanya dengan sholat fardhu di bulan yang lain. Akan halnya puasa, Allah Swt. sendiri yang akan membalasnya tanpa kita mengetahui berapa jumlah pahalanya. Dalam hadist qudsi dijelaskan bahwa “puasa ramadhan itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnyaâ€�. Dalam hadist ini Allah Swt. tidak menyebutkan berapa pahala yang akan kita peroleh, tergantung kualitas puasa yang kita jalani. Jika puasa yang kita lakukan benar-benar dijalankan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah Swt., maka pahala yang akan kita peroleh jauh lebih banyak dari apa yang kita bayangkan. Jika tidak demikian, kita hanya mendapatkan kehausan dan kelaparan. 

Kata kunci yang ketiga “kama kutiba alal ladhina ming qablikum�. Kalimat ini menghibur umat Islam dengan menandaskan bahwa puasa itu tidak hanya diwajibkan kepada umat Muhammad Saw. saja tapi juga diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya. Namun umat sebelumnya menyelewengkan kewajiban puasa ini. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Qs. at-Taubah: 37
إ�نَّمَا النَّس�يء� ز�يَادَةٌ ��ي الْك��ْر� ي�ضَلّ� ب�ه� الَّذ�ينَ كَ�َر�وا ي�ح�لّ�ونَه� عَامًا وَي�حَرّ�م�ونَه� عَامًا ل�ي�وَاط�ئ�وا ع�دَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّه� �َي�ح�لّ�وا مَا حَرَّمَ اللَّه�…
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah…�

Imam al-Qurthubi, dalam kitab al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, menyebutkan bahwa Allah telah mewajibkan puasa kepada Yahudi selama 40 hari, kemudian umat nabi Isa selama 50 hari. Tetapi kemudian mereka merubah waktunya sesuai keinginan mereka. Jika bertepatan dengan musim panas mereka menundanya hingga datang musim bunga. Hal itu mereka lakukan demi mencari kemudahan dalam beribadah. Itulah yang disebut nasi’ seperti disebutkan dalam surat at taubah: 37 di atas.

Orang-orang yang demikian disebut dalam Qs. al-Fatihah sebagai al-Maghdub (orang-orang yang dibenci karena menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dalam hal ini adalah orang-orang nashara) dan disebut sebagai al-Dholliin (orang-orang sesat yang menyesatkan yakni orang yahudi). 

Kata kunci yang keempat adalah “la’allakum tattaquunâ€�. Dalam pandangan penceramah bahwa ayat ini adalah ayat dalam bentuk kalimat berita bukan dalam bentuk kalimat perintah. Kalimat berita yang diakhiri kata “la’allaâ€�, memiliki arti kemungkinan/agar/mudah-mudahan. Sementara kata “la’allaâ€� dalam kalimat perintah itu bermakna pasti. Artinya, bahwa puasa yang kita lakukan selama sebulan penuh itu belum menjamin kita benar-benar meraih predikat muttaqin, tergantung kualitas puasa yang kita jalankan. Kita masing-masing dapat mereka-reka kualitas puasa kita sesuai dengan apa yang kita jalani. Kita hanya berusaha semampu kita, keputusan akhirnya kita serahkan kepada Allah Swt. Wallahu a’lam. 

Surabaya, Awal Ramadhan, 1437 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *