Polemik do’a sebelum dan sesudah belajar di sekolah Negeri


Syukri Abubakar. Beberapa hari terakhir ini sedang marak berita tentang do’a di sekolah. Pemicunya adalah pernyataan mendikbud Anies Baswedan atau biasa disapa menteri AB yang merencanakan mengatur tata tertib berdo’a sebelum dan sesudah belajar di sekolah. Pernyataan ini disampaikan Mendikbud saat konferensi pers di kantornya, Senin (8/12).
Sekolah di Indonesia mempromosikan agar anak-anak kita taat menjalankan agamanya, tapi bukan memaksakan satu agama. Jadi, kita sedang susun, ada tata tertib saat memulai dan tutup sekolah, dan terkait dengan doa, yang menimbulkan masalah. Prinsipnya gak boleh sekolah negeri promosikan sikap satu agama, tapi bhineka tunggal ika,” kata Mendikbud Anies saat itu.
Menanggapi rencana menteri AB ini, ada yang mendukung dan tidak sedikit yang  mempertanyakan dan menolak secara tegas rencana tersebut. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti, mendukung upaya menteri AB tersebut karena menurutnya, bangsa kita ini adalah bangsa yang majemuk yang dihuni oleh orang-orang yang memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda. Maka alangkah baiknya identitas nasional diutamakan dari pada yang lainnya. Ia mengatakan bahwa do’a yang diucapkan lebih baik menggunakan Bahasa Indonesia saja. Begitu tuturnya sebagaimana dilansir JPPN.com Rabu (10/12).
Sementara itu, Ustad Yusuf Mansur, dalam akun Twitternya mempertanyakan kebijakan yang hendak diambil oleh menteri AB ini, menurutnya apa yang telah dipraktekkan selama ini sudah sangat bagus dan sudah mewakili umat Islam. Kalau kebiasaan baik ini ditiadakan atau diganti, maka beliau kepingin cepat-cepat pemilu presiden lagi agar presiden baru nanti bisa memilih menteri yang pro umat Islam.
Politisi PAN juga mempertanyakan rencana menteri AB tersebut, jika do’a di sekolah ditiadakan, maka Negara  ini adalah sama dengan Negara komunis,  tuturnya, sebagaimana dilansir JPPN.com Rabu (10/12).
Anggota Komisi X DPR Reni Marlinawati menyarankan agar mantan Rektor Paramadina itu blusukan dulu melihat kondisi di lapangan sebelum menerapkan rencana tersebut. Rencana itu, ujar Reni, tampak seolah menampilkan sosok yang pluralis dan nasionalis dengan pernyataan “Sekolah negeri harus mempromosikan sikap ketuhanan YME bukan satu agama”. Padahal, rencana tersebut justru kontra konstitusional. Dalam konstitusi disebutkan secara jelas, di Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, negara menjamin kemerdekan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Dengan demikian, siswa yang beragama Islam dipersilakan berdoa sesuai dengan tata cara yang telah diatur oleh ajaran agamanya, begitu juga siswa yang beragama lainnya disesuaikan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh ajaran agamanya masing-masing. Begitulah implementasi dari amanat konstitusi tersebut.
Wallahu a’lam.
Bima, 10 Desember 2014.