Syukri Abubakar. Masih terngiang suasana diskusi dua minggu yang lalu Sabtu, 22 Nopember 2014 yang membahas tentang ayat-ayat penegakan hukum. Pemakalah pada saat itu ada empat orang perempuan. Ada yang menyeletuk bahwa salah satu diantara mereka berstatus “Janda Muda� tapi ketika saya lihat wajahnya sepertinya sudah tua. Mungkin umurnya sudah tua tapi cerainya baru saja atau sebutan “janda muda� itu hanya sekedar guyon saja, saya tidak tahu.
Ada yang menarik dalam diskusi kali ini. Kalau saya nilai, inilah diskusi yang paling lucu selama saya mengajar baik di STIT maupun di kampus-kampus lainnya yang pernah saya ajar. Saya sendiri bahkan tidak tahan ketawa ketika mendengar mereka berdiskusi. Apa yang terjadi sehingga diskusi ini seperti layaknya pertunjukan lawak?.
Jadi ketika pertama kali moderator diskusi memperkenalkan anggotanya, terdengar suara lantangnya dengan logat (sentu) yang sangat kental nuansa desanya. Entah beliau berasal dari desa mana, saya sendiri sampai sekarang belum sempat konfirmasi. Yang pasti, setiap beliau bicara, semua peserta diskusi yang mendengarnya langusng geeeerrrrr tertawa terbahak-bahak mendengar gaya bicara bahasa Indonesianya yang kental dengan logat (sentu)nya. Melihat kondisi seperti ini, saya sempat terhanyut beberapa saat, sampai-sampai saya foto secara khusus mereka yang sedang mempresentasikan makalahnya. Ketika saya mengambil gambarnya, mereka juga rupanya tidak tahan ketawa ketiwi. Hehehaiiiy.
Setelah saya mengambil gambar mereka, suasana diskusi masih belum stabil karena terpengaruh dengan model bicara moderator. Sekali aja moderator bicara, semua peserta diskusi langsung tertawa terbahak-bahak.
Melihat suasana diskusi yang kurang kondusif itu, salah seorang audien, kalau ndak salah pak Wahyudin, mengajukan pertanyaan yang maksudnya kurang lebih begini; “Bagaimana pendapat pemakalah tentang pelaksanaan syariat Islam di Indonesia, utamanya mengenai penegakan hukum Islam, mengingat Negara kita ini adalah Negara pancasila bukan Negara Islam�?. Mendengar pertanyaan ini, pemakalah kelihatannya sedikit kebingungan untuk menjawabnya. Maka saya ambil alih menanggapi pertanyaan tersebut.
Saya jelaskan bahwa sebagian syariat Islam sudah dimplementasikan di Negara kita tunjuk misal hukum perdata Islam tentang pernikahan, kewarisan, wasiat, perwakafan, zakat, dan haji. Sementara hukum pidananya masih menjadi polemik di kalangan pakar hukum dan masyarakat umum. Ada sebagian yang menginginkan dilembagakan seperti perkawinan dan banyak juga yang menentangnya. Karena adanya pro kontra seperti ini, maka sampai sekarang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Islam (RKUHPI) itu masih belum diajukan pemerintah ke DPR, sehingga praktis hukum pidana Islam tidak berlaku di negara kita.
Pertanyaan lanjutananya adalah jika hukum pidana Islam yang tercantum dalan al-Qur’an dan hadist itu tidak dijalankan oleh pemerintah dan umat Islam, bagaimana konsekwensinya?
Menjawab pertanyaan ini, kita kembali pada bagaimana kita memahami ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal tersebut. Dalam QS. Al-Ma’idah ayat; 44, 45, dan 47 bahwa jika umat Islam tidak menjalankan hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka dicap sebagai kafir, dhalim dan fasik. Dalam sebuah riwayat dijelaskan dari Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata: “Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah diturunkan Allah, berarti ia benar-benar kafir. Barangsiapa mengakuinya, tetapi tidak menjalankannya, ia sebagai orang dhalim dan fasik.
Memahami bunyi hadist tersebut di atas, maka kita akan mengetahui posisi kita. Jika kita ingkar terhadap apa yang telah Allah turunkan dalam al-Qur’an, maka kita termasuk orang yang kafir. Bila kita mengakuinya, tapi tidak mampu menjalankannya karena suatu hal, maka kita termasuk orang yang dhalim dan fasik.
Itulah bebeapa point yang sempat saya sampaikan pada diskusi yang terbilang amat lucu itu sehingga salah seorang audien menyeletuk; “Enak sekali pemakalah hari ini, jawabannya diborong semua sama dosen�. Hehehe huiiii.
Wallahu a’lam
Bima, 8 Desember 2014