Ghozwul Fikri dan Proxy War

Ghozwul fikri (perang pemikiran) dan proxy war (perang yang diwakilkan), dua kata yang akhir-akhir ini sering kita dengar dikumandangkan oleh para da’i dan pemerhati Islam. Dua kata tersebut biasanya dilekatkan ketika membicarakan upaya musuh menghancurkan Islam.

Dahulu kita mengenal kata sandi 3 (tiga) G. Glory (kekuasaan), Gospel (agama), dan Gold (mas/harta benda). Ketiga usaha itu berjalan beriringan sesuai dengan harapan walaupun disana sini banyak kendalanya. Dahulu musuh Islam menjajah negara-negara

Islam dalam jangka waktu yang cukup lama, Indonesia misalnya dijajah selama 360 tahun. Dalam jangka waktu yang begitu lama, musuh berhasil menjalankan misinya. Kekuasaan mereka dapatkan, ajaran agama disebarkan, dan harta benda nusantara dijarah.

Namun dengan semangat membela agama, membela tanah air, umat Islam yang dipimpin oleh para ulama membantu TNI berjuang habis-habisan memukul mundur tentara musuh sampai pada saatnya meraih kemerdekaan. Setelah kemerdekaan diraih, maka pembangunan di segala bidang digalakkan sehingga menghasilkan pembangunan seperti yang kita nikmati saat ini.
Musuh Islam tentu saja tidak senang dengan kemerdekaan yang sedang kita nikmati. Mereka berupaya keras bagaimana caranya agar umat Islam yang sedang bangkit ini, bisa mati suri sebelum mencapai puncak. Mereka tidak lagi menggunakan cara lama dengan kata sandi 3 G, tapi menggalakkan kata sandi baru yang tidak lagi melakukan kontak langsung secara fisik dengan umat Islam.   
Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Zahroh ketika menyampaikan kajian keagamaan di masjid Akbar Surabaya beberapa hari lalu bahwa saat ini yang digalakkan kata sandi 3 F. Fashion (model pakaian), Food (makanan), dan Film (Film). Ketiga metode penyerangan gaya baru ini dilakukan secara massive melalui berbagai macam media yang mereka kuasai. Media televisi, media elektronik, media internet dan lain-lain.
Kita bisa mengamati bagaimana perang opini di dunia maya terkait cara berpakaian seseorang. Menurut mereka, pakaian yang modern adalah pakaian ala Barat, sementara pakaian ala Arab kadang-kadang dianggap pakaian kaum teroris. Pakaian ala Nusantara dianggap kampungan. Begitu juga dalam hal makanan, yang modern adalah makanan yang berbau-bau Barat, ada nama-nama Barat pada labelnya padahal makanan Nusantara tidak kalah lezat dan menyehatkan. Dan yang terakhir adalah upaya penghancuran generasi muda melalui film dan sinetron. Ketiga metode tersebut berhasil merasuki sendi kehidupan umat terutama generasi muda Islam.
Di samping upaya-upaya di atas, sarjana-sarjana Barat (orientalist) telah lama mengkaji Islam dari berbagai bidang kajian. Ada yang tertarik dengan kajian tafsir, ada yang kajian hadist, kajian sejarah, kajian bahasa, kajian hukum, kajian tasawuf, kajian budaya, dan lain-lain. Kajian-kajian itu terus berlanjut hingga saat ini. Diantara mereka ada yang murni mengkaji Islam secara jujur sehingga banyak yang mendapat hidayah masuk Islam, tapi ada juga yang bertujuan untuk mengaburkan ajaran Islam sehingga menimbulkan keragu-raguan di kalangan umat Islam.
Jika diperhatikan, peran tersebut sepertinya banyak ditunjukkan oleh kalangan liberal yang mencoba memahami ajaran Islam dari sudut pandang yang berbeda dengan mayoritas umat Islam bahkan dengan ulama salaf sekalipun. Hal seperti inilah barangkali yang disebut dengan ghozwul fikri perang pemikiran dan proxy war perang yang melibatkan pihak ketiga yang seide sepemikiran sebagai pengganti untuk melawan musuh secara langsung.
Menurut Prof. Zahroh musuh-musuh Islam itu tidak hanya datang dari luar Islam tapi ada juga yang berasal dari kalangan umat Islam sendiri. Dan mereka ini sangat sulit diidentifikasi karena mereka juga beranggapan memperjuangkan Islam yang rahmatan lil alamin sebagaimana yang diperjuangkan oleh umat Islam pada umumnya. Tapi yang jelas menurutnya, orang-orang yang menentang, menghambat, merugikan perjuangan umat Islam serta lebih condong ke musuh, merekalah musuh dalam selimut. Mereka mendahulukan kepentingkan pribadi dan kelompoknya tanpa menoleh kepada kepentingan umat secara keseluruhan.
Sebagai contoh, mereka berupaya memahami al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad Saw. sesuai dengan kepentingannya. Mereka memaknai ayat-ayat yang sudah jelas maknanya dengan makna lain yang sesuai dengan kepentingan mereka sehingga pendapat yang mereka pegang sesuai dengan ayat tersebut. Dengan cara memahami ayat seperti ini membuat umat Islam akar rumput menjadi bingung dan ragu dibuatnya.   
Oleh karenanya, beliau sarankan agar umat Islam, terutama ulama dan kalangan intelektual muslim agar melek teknologi informasi, karena saat ini yang paling ampuh untuk menggiring opini umat adalah melalui media sosial internet. Kita harus rajin memproduksi tulisan kajian keislaman Ahli Sunnah wal Jama’ah sebanyak-banyaknya lalu dishare sehingga bisa dibaca dan dikonsumsi oleh umat. Jangan biarkan umat dibodohi dengan tulisan-tulisan haox yang merajalela. Saringlah informasi media itu secara teliti sehingga kita terhindari dari berita fitnah nan haox. Wallahu a’lam.
Surabaya, 1 Mei 2017.