Konflik di Tanah Syam Suriah: Apa sebenarnya yang terjadi?

Syukri Abubakar. Senin, 07 Maret 2016 Al-hamdulillah saya berkesempatan mengikuti seminar Internasional yang bertajuk “Peran Ulama dalam Rekonsiliasi Krisis Politik dan Idiologi di Timur Tengah�. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya dengan Ikatan Alumni Syam Indonesia (al-Syam) yakni mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di Suriah.

Diantara pembicara yang ditampilkan adalah Prof. Dr. Taufiq Ramadhan al-Buthi, Ketua Persatuan Ulama Syam, pimpinan Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus Suriah.  Tujuan didatangkannya beliau dalam seminar ini, dalam rangka memberikan informasi yang sebenarnya mengenai kondisi Suriah terkini, karena informasi yang disebarkan melalui media sosial internet ataupun you tube yang beragam membuat kita bingung tentang apa sebenarnya yang terjadi di sana. 

Dalam uraiannya beliau menjelaskan bahwa dalam beberapa dasawarsa, masyarakat Suriah hidup dalam keadaan damai tanpa ada konflik, dengan  berbagai ragam perbedaan keyakinan, agama, perbedaan sekte, perbedaan faham, dan perbedaan mazhab yang melingkupinya. Mereka hidup dengan rukun, saling menghargai dalam bingkai perbedaan yang ada. 

Pertanyaannya, mengapa empat tahun terakhir ini terjadi konflik berdarah-darah di Timur Tengah, khususnya di Suriah padahal selama ini mereka hidup berdampingan satu sama lainnya selama berabad-abad dalam bingkai perbedaan?.   

Menurut beliau, petaka ini dimulai sejak adanya wacana Arab Spring musim semi Arab yang diimpor oleh kaum reformist dari Barat melalui media sosial, yang menginginkan adanya perubahan kepemimpinan di tanah Arab. Arab Spring ini berhasil menumbangkan paling tidak lima presiden, yaitu Presiden Zine El Abidine Ben Ali Tunisia, Hosni Mubarak Mesir, Muammar Qadafi Libya, Ali Abdullah Saleh Yaman, Mohammed Mursi Mesir dan yang tersisa adalah Bassar al-Asad di Suriah. Disamping itu, beliau juga tidak menafikan campur tangan asing yang menginginkan kekacauan di negara Arab khususnya Suriah seperti yang terjadi akhir-akhir ini dengan membentuk ISIS.

Sebab lain adalah adanya fatwa ulama yang menganjurkan jihad di Suriah. Menanggapi fatwa ulama ini, beliau membagi ulama menjadi dua, yaitu ulama murni dan ulama yang disebutnya sebagai umala yakni ulama yang berperilaku sebagai agent. Umala atau agent inilah yang mengeluarkan fatwa jihad sehingga menarik minat orang-orang di luar negara Suriah yang sealiran berduyun-duyun datang berjihad di sana.  

Akibat dari konflik tersebut telah menghilangkan nyawa ribuan orang dan memaksa ribuan bahkan jutaan warga Suriah mengungsi di negara-negara lain. Salah seorang korbannya adalah seorang ulama terkemuka Suriah pembela ajaran Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang memberi kebebasan dalam mengikuti Imam Mazhab yang empat, penulis produktif lebih dari 60 karya yang telah dihasilkananya meliputi bidang syariah, sastra, filsafat, sosial, masalah-masalah kebudayaan, dan lain-lain, Syeikh Said Ramadhan al-Buthi beserta beberapa santrinya ditembak oleh pemberontak ketika sedang memberikan pengajian di Masjid Al Iman Damaskus Suriah pada 05 Jumadil Awwal 1434 H/ 21 Maret 2013.  Begitu juga cucu beliau tewas dalam konflik tersebut.

Menurut beliau, dengan membunuh ulama, mereka hendak mencitrakan jelek terhadap ulama murni sehingga fatwa-fatwa mereka tidak diindahkan oleh masyarakat. Walaupun demikian, beliau dan ulama-ulama murni lainnya tidak gentar menghadapi umala dan pemberontak ISIS dalam mendakwahkan Islam yang rahmatan lil alamin walau nyawa sebagai taruhannya.  

Terkait konflik sunni syiah yang dihembuskan oleh Media, beliau menghimbau agar teliti dalam menerima informasi, karena informasi media itu belum tentu benar sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Suriah, bisa saja ditambah tambahkan atau dikurangi. “Kita jangan langsung menshare berita-berita itu sebelum kita pastikan bahwa berita itu benar adanyaâ€�, Ujarnya. Karena terjadinya konflik di Suriah itu, menurutnya, salah satu pemicunya adalah peran media sosial yang menyebarluaskan berita yang belum tentu kebenarannya tanpa ada cek dan ricek terlebih dahulu. 

Beliau katakan bahwa petinggi Syiah Ali Rafsanjani mengharamkan warga Syi’ah mengutuk atau merendahkan para Sahabat. Perbedaannya hanya dalam hal furuiyyah saja. Memang benar dalam syi’ah terdapat banyak aliran sebagaimana dalam sunni. Ada yang moderat dan ada yang menyimpang, rafidah. Beliau hendak katakan bahwa konflik Suriah itu bukan murni konflik Sunni Syiah tapi ada faktor lain yang melatarbelakanginya. 

Beliau melanjutkan, perbedaan Sunni Syi’ah hanya terdapat pada dua hal, yaitu pada masa awal Islam dan masa yang akan datang. Pada masa awal Islam terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa yang menggantikan posisi Nabi Muhammad Saw. sebagai Khalifah. Ketika Umat Islam berkumpul membicarakan siapa pengganti Nabi Muhammad Saw., terjadilah perdebatan yang alot, sehingga Umar berdiri membai’at Abubakar sebagai Khalifah pengganti Nabi Muhammad Saw. dengan beberapa argumentasinya yang diikuti oleh umat Islam yang lain. Sementara orang-orang yang bersimpati pada Ali bin Abi Thalib menghendaki Ali lah yang menggantikan posisi Nabi Muhammad Saw. sebagai Khalifah. 

Setelah terjadinya bai’at tersebut, Sayyidina Ali pun ikut membai’at Abubakar sebagai Khalifah pertama, begitupun dengan Khalifah kedua Umar bin Khattab dan Khalifah ketiga Utsman bin Affan. Jadi tidak ada persoalan dengan ketiga khalifah tersebut. Mulai timbul persoalan adalah ketika Abdullah bin Saba’ orang Yahudi yang masuk Islam mempengaruhi pengikut Ali bin Abi Thalib dengan faham Yahudi-nya bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah keturunan langsung dari Nabi Muhammad Saw. Faham inilah yang dipegang kuat oleh sebagian pengikut Ali bin Abi Thalib sehingga tidak menerima kekhalifahan Abubakar, Umar dan Utsman. 

Sementara hal yang kedua adalah masalah yang akan datang berkaitan dengan keyakinan Syi’ah akan munculnya Imam yang ditunggu-tunggu yaitu Imam Mahdi. Jika pun Imam Mahdi itu bener muncul nantinya, maka kita semua umat Islam akan mempercayainya, tuturnya.

Setelah empat tahun negara digoncang konflik, perlahan-lahan kondisi keamanan negara Suriah berangsur-angsur membaik. Beliau menginformasikan bahwa sebulan yang lalu, Universitas Damaskus menyelenggarakan wisuda mahasiswa setelah empat tahun vakum.  Beliau mempersilahkan mahasiswa Indonesia yang berminat melanjutkan pendidikan di Universitas Damaskus untuk segera mendaftar dengan beasiswa dari mereka. Beliau juga menghendaki agar dibuatkan MOU kerjasama antara Universutas Damaskus dengan UINSA Surabaya terkait pertukaran dosen, mahasiswa, pegawai atau kegiatan lainnya yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu keislaman.

Wallahu a’lam

Surabaya, 09 Maret 2016