Cadar Perspektif al-Qur’an, Hadist dan Ulama Mazhab

STIT SUNAN GIRI BIMA, KOTA BIMA- Sebelum menguraikan lebih jauh tentang Cadar, ada baiknya diketengahkan terlebih dahulu beberapa istilah yang digunakan berkenaan dengan penutup aurat perempuan. Ada beberapa istilah yang telah kita berhubungan dengan menutup aurat bagi perempuan, di antaranya:

  • Khimar yaitu kerudung panjang yang menutup bagian kepala, leher sampai dada. Panjangnya hingga sebatas pinggang.
  • Niqob yaitu kain penutup kepala hingga wajah dan hanya bagian mata yang dibiarkan terbuka. Bentuknya lebar hingga menutupi setengah bagian tubuh depan dan belakang. Di Indonesia, Niqob ini dikenal dengan sebutan Cadar.
  • Burqa yaitu penutup seluruh tubuh termasuk wajah. Penutup bagian mata terbuat dari material tembus pandang.
  • Hijab yaitu istilah umum yang digunakan untuk menutup seluruh bagian kepala dan leher tapi tidak menutup wajah.
  • Jilbab jamaknya Jalabib yakni pakaian yang lebih lebar dari khimar dan rida’ yang dipakai perempuan untuk menutup kepala dan dadanya (seperti mantel).

Dari beragam model penutup aurat perempuan tersebut, tidak semua muslimah menggunakannya. Kebanyakan dari mereka menggunakan hijab atau di Indonesia dikenal dengan jilbab. Menurut wikipedia bahwa niqob banyak dipakai oleh perempuan-perempuan yang tinggal di negara-negara teluk Persia seperti Arab Saudi, Yaman, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, Pakistan, Afganistan, dan di beberapa negara Barat.

Namun sejak terjadinya bom bunuh diri oleh orang-orang yang bercadar, maka beberapa negara melarang penggunaannya dengan berbagai alasan, ada yang alasan keamanan, membatasi sebaran idiologi radikal, merawat tradisi, hingga mengedepankan asas kehidupan bersama.

Seperti dilansir NU online, Tempo.co, Republika online terdapat beberapa negara yang melarang penggunaan cadar, di antaranya; Perancis 2010, Italia 2010, Belgia 2011, Spanyol 2013, Belanda 2015, Chad 2015, Mesir 2016, Maroko tahun 2017, Denmark 2018 dan Tunisia 2019.

Parlemen Mesir, Said Aqil Siraj, Menag Fachrur Razi dan beberapa cendekiawan muslim lainnya menganggap bahwa cadar bukanlah ajaran Islam tapi tradisi yang berkembang di tanah Arab bahkan Imam Besar al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi mengatakan “Niqab hanya kebiasaan, tak ada hubungannya dengan Islam. Saya memahami agama lebih baik daripada kamu dan orang tuamu”, ujarnya pada sang murid ketika ia mengunjungi Sekolah Dasar putri Universitas al-Azhar. (Republika Online, 7/03/2018).

Untuk itu, berikut ini dikemukakan beberapa dalil al-Qur’an dan hadist Nabi serta pandangan ulama mazhab berkenaan tentang aurat perempuan.

Ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan hijab

  1. al-Ahzab: 53,

وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسۡألُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”.

Dhohir ayat di atas hanya menjelaskan bahwa jika sahabat Nabi membutuhkan sesuatu pada isteri-isteri Nabi, maka mintalah dari belakang tabir.

  1. Al-Ahzab; 59,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Ahzab: 59).

Secara spesifik ayat di atas memerintahkan isteri-isteri Nabi, anak-anak perempuan Nabi, dan isteri-isteri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka agar mereka tidak diganggu dan mudah dikenal. Untuk mengetahui lebih detail maksud ayat ini, perlu merujuk pada asbabun nuzul ayat tersebut turun.

“Dahulu para istri Nabi Muhammad Saw. keluar rumah untuk buang hajat. Saat itu kaum munafik yang melihatnya, menyakiti dan mengganggu para istri Nabi Muhammad. Ketika ditegur, kaum munafik menjawab, “Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja.” Dengan adanya kejadian tersebut, turunlah Qs. al-Ahzab: 59.

Berdasarkan asbabun nuzul tersebut dapat dipahami bahwa tujuan mengulurkan jilbab di seluruh tubuh adalah untuk melindungi kaum perempuan dari gangguan laki-laki hidung belang, dan sekaligus menjadi pembeda antara perempuan merdeka dengan budak perempuan.

  1. An-Nur: 31

وقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…”

Dalam ayat tersebut, yang dipertentangkan adalah kalimat “kecuali yang biasa nampak dari padanya”. Menurut sebagian ulama yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan.

Beberapa hadist Nabi

  1. “Dari Ibn Mas’ud, bahwa Nabi Saw bersabda ‘Wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar (rumah), maka setan tampil membelalakkan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya’” (HR At-Tirmidzi).
  2. “Dari Ummul Mukminin Aisyah ra, beliau berkata, ‘para penunggang unta atau kuda melewati kami, sedang ketika itu kami bersama Rasulullah Saw dan kami dalam keadaan berihram, maka bila mereka lewat di hadapan kami, maka setiap kami mengulurkan kerudung dari kepalanya atas (untuk menutupi) wajah masing-masing, dan bila mereka telah melalui kami, kamipun membukanya (wajah kami) (Hadis Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan lainnya)

قال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: أمر الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رؤوسهن بالجلابيب، ويبدين عينًا واحدة

  1. Ali bin Abi Tholhah berkata, dari  Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah telah memerintahkan kepada wanita beriman jika mereka keluar dari rumah mereka dalam keadaan tertutup wajah dan atas kepala mereka dengan jilbab dan yang nampak hanyalah satu mata (Tafsir Ibnu Kasir)
  2. “Dari Aisyah ra berkata bahwa “Asma putri Abu Bakar ra datang menemui Rasulullah Saw dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah Saw berpaling enggan melihatnya dan bersabda, ‘Hai Asma, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini (sambal beliau Saw menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau Saw)” (HR. Abu Dawud dan al al-Baihaqi)

Pandangan 4 mazhab mengenai penggunaan Niqob/Cadar.

Ulama empat mazhab berbeda pandangan dalam menentukan wajib tidaknya penggunaan Niqob/cadar bagi kaum perempuan. Ada yang mewajibkan menutup muka dan ada yang membolehkan membuka wajah. Apa yang melatarbelakangi perbedaan pandangan mereka, dapat diuraikan berikut ini.

  1. Mazhab Hanafi

Wajah perempuan bukan aurat, tapi memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan bagi perempuan muda (al-mar’ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajahnya di antara laki-laki untuk menghindari fitnah. (Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).

  1. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpandangan bahwa makruh hukumnya perempuan menutupi wajah baik dalam sholat maupun di luar sholat karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-Ghuluw). Al-Qurtubi dalam kitab tafsir al-Qurtubi menjelaskan bahwa Ibnu Juwaid, ulama besar Maliki berkata: jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, maka hendaknya ia menutup wajahnya.

  1. Mazhab Syafi’i

Secara umum perbedaan pandangan kalangan Syafi’iyah terbagi menjadi tiga, yaitu; 1) wajib. 2) sunnah, termasuk pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan “setiap perempuan adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajahnya, demikian juga telapak kakinya”. (al-Umm, 1/110). 3) khilaful awla, menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar. (Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, ha laman 134).

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazdzdab (3/169) menjelaskan, “Pendapat yang mashur di mazdhab kami adalah bahwa aurat pria antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat perempuan merdeka adalah seluruh wajahnya kecuali wajah dan telapak tangan. Demikian halnya pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad”.

Imam al-Ghazali, beliau berkata;

“Jika seorang wanita keluar maka hendaknya ia menundukkan pandangannya dari memandang para lelaki. Kami tidak mengatakan bahwa wajah lelaki adalah aurat bagi wanita –sebagaimana wajah wanita yang merupakan aurat bagi lelaki- akan tetapi ia sebagaimana wajah pemuda amrod (yang tidak berjanggut dan tanpan) bagi para lelaki, maka diharamkan untuk memandang jika dikhawatirkan fitnah, dan jika tidak dikhawatirkan fitnah maka tidak diharamkan. Karena para lelaki senantiasa terbuka wajah-wajah mereka sejak zaman-zaman lalu, dan para wanita senantiasa keluar dengan bercadar. Kalau seandainya wajah para lelaki adalah aurat bagi wanita maka tentunya para lelaki akan diperintahkan untuk bercadar atau dilarang untuk keluar kecuali karena darurat” (Ihyaa Uluum Ad-Diin, 2/47)

Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar yang menjadi salah satu penganut Mazhab Syafi’i berpandangan bahwa persoalan cadar menjadi khilafiah ulama. Meskipun begitu, mereka mengakui bahwa pendapat yang mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i bahwa aurat perempuan dalam konteks berkaitan dengan pandangan pihak lain (al-ajanib) adalah semua badannya, termasuk kedua telapak tangan dan wajah. Konsekuensinya adalah ia wajib menutupi kedua telapak tangan dan memakai cadar untuk menutupi wajahnya.

Namun, dalam hal ini NU berpandangan bahwa kewajibkan memakai cadar bagi perempuan di Indonesia dikhawatirkan akan menimbulkan banyak kendala, mengingat NU sendiri bukan hanya mengakui Mazhab Syafi’i, melainkan juga ketiga mazhab lainnya. Diperlukan kearifan dalam melihat perbedaan pandangan tentang cadar ini sehingga tidak memunculkan pertentangan pendapat yang memancing perpecahan. (NU Online, 20/4/2016), (Republika.co.id, 08/11/2019).

  1. Mazhab Hanbali

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya.” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)

Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata, “Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha.” (Raudhul Murbi’, 140)

Ibnu Muflih berkata, “Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan.” (Al Furu’, 601-602).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata; “Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya perempuan untuk menutup wajah dari laki-laki ajnabi. (Fatawa Nurun ‘Alad Darb).  Wallahu a’lam.

Kota Bima, 08 Nopember 2019