Mengkaji Kedudukan Mahar dalam Pernikahan

stit-sunangiribima.ac.id – Dalam salah satu diskusi kelompok di kelas PAI 2, salah seorang mahasiswa melontarkan sebuah pertanyaan kepada pemakalah tentang kedudukan mahar dalam perkawinan. Sejauh yang ia baca bahwa mahar tidak masuk dalam rukun pernikahan tapi wajib diberikan oleh calon suami kepada calon isterinya sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam Qs. An-Nisa’: 2 dan 24. “Tolong jelaskan persoalan tersebut secara gamblang, tegasnya. Menanggapi pertanyaan tersebut, pemakalah mengatakan bahwa mahar memang bukan rukun nikah. Sebagaimana kita ketahui bahwa rukun nikah menurut jumhur ulama ada lima, yaitu calon suami, calon isteri, wali nikah, saksi nikah, dan ijab qabul yang masing-masing memiliki syarat-syarat tertentu.

Mahar sendiri oleh para ahli hukum dibahas tersendiri, terpisah dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan karena al-Qur’an, sunnah dan ijmak ulama menetapkan bahwa mahar wajib diberikan oleh calon suami kepada calon isteri sebagaimana bunyi ayat tersebut di atas, dan besaran mahar biasanya disebutkan ketika akad nikah dilangsungkan.

Ibnu Rusy dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa mahar ditempatkan sebagai syarat sahnya pernikahan. Artinya kalau mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, maka pernikahan tidak dianggap terjadi. Mahar sendiri bisa berupa barang seperti mas, perak, uang, dan lain-lain, dapat juga berupa manfaat atau jasa seperti mengajarkan al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat muhajirin, mengembala ternak sebagaimana yang dilakoni oleh Nabi Musa As., menggarap sawah atau jasa lainnya yang memiliki nilai manfaat.

Penentuan besaran mahar menurut Kompilasi Hukum Islam berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (pasal 30), dan atas dasar kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama Islam (pasal 31). Islam tidak menentukan secara pasti berapa besaran mahar yang harus dibawa oleh calon mempelai laki-laki tapi diserahkan kepada kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan pernikahan. Sangat dianjurkan untuk meminta yang sederhana dan yang mudah agar dapat diupayakan oleh calon suami.

Sederhana dan mudah di sini tidak sampai melecehkan atau menyepelekan calon isteri terkait dengan besaran mahar, tapi sederhana dan mudah dalam pandangan dan kebiasaan masyarakat setempat, tidak terlalu murahan dan terkesan mengada-ada, juga tidak terlalu mahal nan fantastis sehingga terkesan memberatkan, cukup disesuaikan dengan kesiapan dan kesanggupan sang calon mempelai laki-laki.
Terkait dengan masalah mahar ini, penanya selanjutnya menceritakan tentang perilaku sebagian masyarakat kita di mana pihak calon isteri berinisiatif menyiapkan mahar untuk dibawa oleh calon suami ketika akad pernikahan dilangsungkan. Bagaimana tanggapan pemakalah terkait hal tersebut.

Pemakalah menjelaskan bahwa hal tersebut sah-sah saja dilakukan oleh calon mempelai perempuan selama pemberian itu atas dasar keikhlasan, tidak ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Namanya pemberian atau hadiah dari seseorang, digunakan untuk apa saja terserah yang menerima hadiah karena itu sudah menjadi hak miliknya.

Yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah apa motif atau latarbelakang pemberian barang oleh calon mempelai putri tersebut? Apakah melihat calon suami sudah menjadi anggota ASN, TNI/Polri sehingga ia rela mengeluarkan biaya untuk mahar karena masa depan dengan sang calon suami sudah bisa diterka? Atau ada unsur lain, misalnya sudah menjadi adat kebiasaan dalam suatu komunitas tertentu, maka hal ini perlu ditelusur lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelitian Atun Wardatun, dosen Fakultas Syari’ah UIN Mataram, bahwa terdapat beberapa kelompok masyarakat Bima yang melakukan praktek seperti itu baik di kota maupun di Kabupaten. Praktek seperti ini ia namai dengan istilah “Ampa Coi Ndai”, membawa mahar sendiri. Praktek seperti ini menurutnya banyak dilakukan oleh masyarakat kabupaten terutama yang berdomisili di kecamatan Belo (Ngali Renda) dan Bolo.

Praktek yang demikian menurut masyarakat setempat memiliki landasan teologis. Berdasarkan informasi yang mereka dapatkan bahwa Siti Khadijah, seorang janda kaya raya jazirah Arab, sangat tertarik dengan kepribadian Muhammad yang waktu itu terkenal kredibilitasnya sehingga dijuluki al-Amin. Ia meminta batuan Muhammad untuk menjajakan barangnya ke Suriah ditemani oleh pembatunya, Maisarah. Di Suriah, Muhammad berhasil menjual barang titipan Khadijah bahkan dengan hasil yang berlipat ganda.

Dari situ, bertambahlah ketertarikan siti Hadijah kepada Muhammad sehingga ia berinisiatif menyampaikan keinginannya untuk melamar Muhammad. Siti Hadijah meminta bantuan temannya yang bernama Nufaisyah menghadap Muhammad untuk menanyakan kesiapannya untuk menikah dengan siti Hadijah. Muhammad pun menyetujuinya. Pada saat itu Muhammad berumur 25 tahun sedangkan siti Hadijah berumur 40 tahun.

Dari informasi itu, bagi mereka, tidak salah kalau pihak perempuan mengajukan lamaran kepada calon mempelai laki-laki sekaligus menyiapkan segala kebutuhan pernikahan termasuk mahar. Dalam pikiran mereka, kehidupan anak perempuannya nanti akan terjamin karena calon suami mereka adalah orang yang berpangkat dan menyandang jabatan sebagai ASN, TNI/Polri.

Tentu masih banyak alasan-alasan sosiologis lainnya yang diperoleh oleh peneliti terkait dengan mengapa Ampa Co’i Ndai dipraktekkan oleh masyarakat setempat. Penulis perlu menelusuri lebih lanjut untuk melengkapi ulasan tersebut.

Wallahu a’lam bissawab.

Penulis : Dr. Syukri Abubakar, M.Ag