Serial Ulama Kharismatik Bima (6)

Jejak Intelektual TGH. Taufiquddin Hamy

Oleh: Ahmad Syagif

H. Moh. Taufiquddin Hamy dilahirkan di desa Roka Kecamatan Belo Kabupaten Bima pada tanggal 22 Desember 1954. Beliau merupakan anak kedua dari enam bersaudara, buah hati dari pasangan H. M. Yasin Abdul Lathief dan Hj. St. Hadijah, salah seorang alim ulama yang sangat disegani di Kabupaten Bima pada masanya. Buah memang tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Pepatah ini sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana darah ulama yang mengalir dalam diri H. Moh. Taufiquddin Hamy diwariskan dari orang tua bahkan kakeknya. Sejak kecil hingga dewasa, didikan keluarga pada beliau sangat kental dengan nuansa agama dan semangat keilmuan. Tidak heran, semua saudara-saudaranya seakan-akan sudah diwajibkan oleh sang ayah untuk menempuh pendidikan agama mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Hal inilah yang jarang terdapat pada keluarga-keluarga lain di tanah kelahirannya.

Saat beliau menempuh pendidikan dasar, beliau rela berjalan kaki dari desa Roka untuk bersekolah di Madrasah Ibtida’iyah di Desa Cenggu yang jaraknya berkilo-kilometer, hingga lulus pada tahun 1967. Setelah itu, beliau turun gunung melanjutkan pendidikannya di MTSAIN Bima mengikuti sang ayah yang telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan kebetulan ditugaskan di Bima. Setelah tamat pada tahun 1970 beliau melanjutkan pendidikannya ke sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Bima hingga tahun 1971. Kemudian beliau masuk ke Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) Bima hingga tamat pada tahun 1973.
Pada saat itulah sang ayah menyatakan keinginannya agar anak keduanya tersebut harus menempuh pendidikan tinggi agama. Secara lebih khusus, bahkan sang ayah berpesan agar sang anak ini nantinya mengambil jurusan bahasa Arab sebagai bekalnya nanti dalam mendalami ajaran agama Islam melalui kitab-kitab yang memang banyak dikoleksi sang ayah selama bertahun-tahun, baik yang beliau beli sendiri ketika menunaikan ibadah haji maupun pesanan atau oleh-oleh dari koleganya dari tanah suci.

Atas dasar inilah H. Moh. Taufiquddin Hamy saat itu rela jauh-jauh merantau ke tanah jawa untuk memenuhi keinginan sang ayah. Setelah berminggu-minggu berlayar dari Bima, sampailah beliau di kota Surabaya Jawa Timur. Beliau akhirnya mendaftar di jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya. Selama di Surabaya inilah beliau merasakan pahit-manisnya masa perkuliahan. Sistem perkuliahan, ketatnya penilaian dosen, dan bobot materi yang berat saat itu tidak bisa disamakan dengan perkuliahan pada zaman sekarang. Namun karena H. Moh. Taufiquddin Hamy memiliki semangat yang tinggi dalam membaca, memiliki hafalan yang kuat, dan semangat tidak mudah putus asa, berbagai aral dan rintangan tersebut mampu dihadapi meskipun harus jatuh bangun.

Karena kelebihannya itulah beliau sering dimintai bantuan koleganya baik sesama jurusan, lintas jurusan, adik tingkat, maupun kakak tingkatnya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah, apalagi yang berkaitan dengan bahasa Arab. Tidak heran, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab saat itu menjadi jurusan yang menjadi momok bagi para mahasiswa sehingga tidak sedikit yang harus drop out atau pindah jurusan akibat hal tersebut. Dari puluhan teman-teman sekelasnya hanya tiga orang termasuk beliau yang meraih sarjana muda pada tahun 1977.

Setelah meraih gelar sarjana mudanya, H. Moh. Taufiquddin Hamy saat itu tidak mengendurkan semangat kuliahnya dengan tetap melanjutkan studinya untuk meraih gelar sarjana penuh. Di sela-sela proses tersebut beliau juga menjadi pengajar privat dan guru di beberapa sekolah di Surabaya. Beliau juga akhirnya menemukan jodohnya, seorang wanita Jawa dari Tanggulangin Sidoarjo bernama Lailatul Masrurah yang kebetulan merupakan mahasiswa di kampus yang sama pada Fakultas Ushuluddin. Setelah menikah pada tahun 1983 mereka dikaruniai tiga orang putera dan seorang puteri.
Pada tahun 1987 ternyata sang ayah menginginkan agar H. Moh. Taufiquddin Hamy pulang kampung dengan maksud agar bisa mengamalkan ilmu di tanah kelahiran dan melanjutkan perjuangan dakwah dan tugas orang tua yang sudah masuk masa pensiun. Karena baktinya kepada orang tua, akhirnya beliau meninggalkan pekerjaannya dan kesibukannya di Surabaya, padahal beliau sempat diminta teman-teman dan dosennya untuk menjadi asisten pengajar di kampusnya.

H. Moh. Taufiquddin Hamy pada awalnya pulang kampung seorang diri ke Bima dan langsung lulus menjadi PNS sebagai guru Agama Islam di MTSN Bima. Setelah menyelesaikan tugas akhirnya, beliau akhirnya berhasil mendapatkan gelar sarjana lengkap pada tahun 1988. Pada tahun 1989 akhirnya sang isteri dan anak-anaknya ikut hijrah ke Bima menemani suami tercinta.

Pada tahun 1990 H. Moh. Taufiquddin Hamy kemudian mendapat tugas baru di PGAN Bima yang pada Tahun 1992 berubah nama menjadi MAN 2 Bima. Pada tahun 1999 beliau akhirnya ditugaskan atas permintaannya sendiri ke sekolah rintisan sang ayah di Madrasah Aliyah (MA) Darul Ma’arif Roka. Dan pada tahun 2003 beliau diangkat menjadi Kepala Seksi Urusan Agama Islam Departemen Agama Islam Kabupaten Bima. Sempat dicalonkan menjadi kepala Departemen Agama Kabupaten Bima, H. Moh. Taufiquddin Hamy memilih kembali memimpin Madrasah Aliyah (MA) Darul Ma’arif Roka.

Di samping menjadi kepala Madrasah Aliyah (MA) Darul Ma’arif Roka, beliau juga diangkat sebagai ketua Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren Darul Ma’arif Bima sepeninggal ayahnya sejak bulan Nopember tahun 2005. Ketika dipimpin oleh beliau, yayasan ini berkembang cukup pesat. Bangunan sekolah banyak yang direnovasi, beberapa ruangan kelas dan aula dibangun, lab komputer didapatkan dari sumbangan Kemenag dan musholla TGH. Yasin Abdul Lathief pun dibangun yang terletak di bagian depan madrasah. Salah satu kebijakan yayasan adalah tidak menarik biaya pendidikan sepeser pun dari para siswa di semua jenjang pendidikan, bahkan mereka difasilitasi seragam sekolah secara cuma-cuma. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan jumlah siswa yang terjadi dari tahun ke tahun baik pada tingkat Raudhotul Athfal (RA) maupun tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Sebagian dari para siswa tersebut, ada yang muqim di Pondok Pesantren Darul Ma’arif Roka Bima. Selain diajarkan materi kurikulum resmi dari pemerintah, para santri juga diajarkan materi tambahan yang meliputi pengajian al-Qur’an setiap selesai sholat ashar dan sholat subuh serta pengajian kitab kuning selesai sholat magrib.

Untuk menjaga loyalitas dan semangat para guru dan staf dalam menjalankan tugasnya, beliau sebagai pimpinan selalu mengupayakan pembayaran honor tiap bulan tepat waktu meski menggunakan uang dari gaji beliau pribadi. Beliau juga mendorong semua guru agar dapat disertifikasi oleh Pemerintah dalam hal ini Kemenag RI Kabupaten Bima. Dan al-hamdulillah hingga saat ini hampir semua guru sudah tersertifikasi.

Dalam bidang sosial kemasyarakatan beliau dikenal sebagai tokoh agama yang disegani. Sepak terjangnya dalam dunia dakwah dikenal luas oleh masyarakat Kota dan Kabupaten Bima. Beliau dikenal memiliki kemampuan retorika yang bagus dan materi yang berbobot serta kecepatan membaca yang sangat baik, sebagai contoh beliau mampu membaca habis tafsir al-Misbah karya Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA. yang berjumlah 15 jilid dalam waktu beberapa bulan saja. Ditambah lagi dengan kayanya referensi berbagai bacaan yang bersumber dari buku-buku dan kitab-kitab berbahasa Arab, beliau memiliki wawasan yang luas akan berbagai aspek keagamaan di bidang, akidah, akhlaq, fiqih, ushul fiqih, tafsir, dan sebagainya. Beliau banyak mengoleksi kitab-kitab baik dari peninggalan sang ayah, maupun yang beliau kumpulkan sendiri ketika menunaikan ibadah haji. Beliau juga dikenal sangat arif dan tidak memiliki sikap fanatisme madzhab dalam menjelaskan atau menyikapi persoalan agama, sehingga menjadikannya dapat diterima diberbagai kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan. Selain itu beliau juga dikenal tidak kenal lelah dan tidak pilih-pilih soal urusan berdakwah, baik yang lokasinya dekat di kota, maupun di lokasi yang jauh terpencil di pedesaan dan pegunungan, baik yang bersifat rutin terjadwal di masjid-masjid, pondok pesantren, lembaga sosial, sampai instansi pemerintah, maupun yang bersifat insidental atas undangan keluarga, tetangga, teman, kolega, maupun instansi pemerintah dan swasta.

Melihat kapasitas, kredibilitas, dan integritasnya itulah banyak posisi penting yang dipercayakan kepada beliau di masyarakat. Beliau pernah menjadi ketua Lembaga Pembinaan Tilawatil Qur’an, Dewan Hakam Musabaqah Tilawatil Qur’an mulai tingkat Kelurahan hingga tingkat Propinsi, Lebe Na’e (Imam Besar) Masjid Agung Al-Muwahidin Kota Bima, dan Ketua Majelis Ulama Kota Bima. Beliau juga sudah dua kali menjadi ketua Tim Pemimbing Haji Indonesia untuk jamaah haji Kota dan Kabupaten Bima.
Mungkin karena banyaknya aktifitas dan padatnya jadwal kegiatan, tidak banyak karya tulis yang beliau sempat hasilkan. Diantara sedikit produk tulisan beliau adalah buku saku kumpulan do’a dan wirid, serta kumpulan do’a perjalan haji dan umrah. Dan disebabkan hal itu jugalah, kondisi kesehatan beliau sempat drop pada bulan ramadhan tahun 2013 hingga akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 11 Oktober 2013 di kediamannya di Bima dan dimakamkan di pekuburan desa Roka yang berlokasi di sebelah timur Pondok Pesantren yang beliau pimpin.

Sepeninggal beliau, yayasan pondok pesantren Darul Ma’arif Bima yang terletak di desa Roka dipercayakan kepada adik beliau yang bernama Drs. H. A. Munir Hamy dan Drs. H. Abubakar Aziz.

Bima, 18 Desember 2018