Serial Ulama Kharismatik Bima (1)

Biorafi dan Karomah Syaikh Nurul Mubin Soro Sape Bima

Syaikh Nurul Mubin atau yang lebih dikenal dengan nama Ama Bibu merupakan sosok yang cukup masyhur di daerah Bima khususnya di Sape. Beliau dianggap sebagai salah seorang ulama pembawa Islam di Sape yang kemudian menyebar ke daerah lainnya di Bima. Tentang siapa sosok beliau ini, penulis sama sekali belum mendapatkan informasi atau tulisan sedikit pun baik berupa catatan harian, buku, ataupun hasil riset sebelumnya. Tulisan ini murni berdasarkan wawancara penulis dengan sejumlah anak keturunan Syaikh Nurul Mubin yang berdomisi di Bima dan yang tinggal di Lambu. Karena berdasarkan cerita yang dituturkan secara turun temurun, barangkali kisah tersebut bisa diceritakan ulang secara utuh, bisa juga tidak karena kemampuan ingatan satu orang dengan lainnya sangat berbeda.

Banyak kisah-kisah mistis yang melingkupi kehidupan dari keluarga ini, sehingga pihak keturunannya sebenarny enggan menceritakannya kembali karena dikhawatirkan dianggap mengada-ada atau lainnya. Tapi sebagai pengetahuan bahwa kisah tersebut memang terjadi pada masanya dan banyak juga orang lain yang mengkisahkannya, maka pihak keturunannya pun menceritakannya juga sesuai dengan apa yang mereka dengar dari leluhurnya dulu.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dari sejumlah anak keturunannya tersebut, maka penulisa rangkum sebagaimana uraian berikut ini. Menurut informasi yang berkembang di kalangan keluarga, Syaikh Nurul Mubin berasal dari keturunan Sayyid Adam yang tinggal di kampung Gajah Makkah al-Mukarramah, orang-orang Bima yang ke Makkah menyebutnya dengan luru gajah atau luru nggati, karena atap rumah tersebut menggunakan seng. Bangunan itu konon terletak di sebelah timur Baitullah Makkah al-Mukarramah. Dikisahkan bahwa Sayyid Adam hendak berdakwah di luar jazirah Arab. Daerah pertama yang didatanginya adalah wilayah Kasmir (India). Beliau kesana menaiki Ikan Hiu. Di Kasmir, beliau berdakwah beberapa waktu, sambil mempelajari adat istiadat dan kesenian daerah tersebut, semisal tari lenggo, gendang, silu, buja kadanda, dan kesenian lainnya. Setelah dirasa cukup, maka beliau melanjutkan perjalanan menuju Padang Panjang Minangkabau.

Di Minangkabau ini, beliau menikahi seorang putri keturunan Nabi Dawud As. Dari hasil pernikahannya itu, melahirkan dua orang anak yang diberi nama Sayyid Umar dan Sayyid Abdul Qa’uf. Diceritakan bahwa kedua anak ini bersaing agar dianggap lebih tua. Untuk mewujudkan keinginan itu, mereka sepakat untuk bertanding. Hewan yang dipertandingkan adalah kerbau. Maka pergilah mereka berdua mencari kerbau untuk diadu. Mereka diberi waktu satu minggu. Sayyid Umar mencari kerbau yang besar sementara Sayyid Abdul Qa’uf mencari anak kerbau yang masih menyusui. Ketika melihat anak kerbau yang dibawa oleh Sayyid Abdul Qa’uf itu, Sayyid Umar mempertanyakan kenapa membawa anak kerbau?. Seakan-anak ia yakin kerbaunya menang. Namun Sayyid Abdul Qa’uf tidak menanggapi pertanyaan Sayyid Umar tersebut.

Ketika waktu pertandingan tiba, terlebih dahulu kerbau Sayyid Umar memasuki arena pertandingan, disusul kemudian oleh anak kerbau Sayyid Abdul Qa’uf. Dalam pada itu, anak kerbau Sayyid Abdul Qa’uf, lari menuju kerbau Sayyid Umar dan langsung meneteki kerbau besar itu. Melihat kelakuan anak kerbau tersebut, kerbau besar itu lari menjauh. Dari kejadian itu, berkatalah Sayyid Abdul Qa’uf: menang kerbau saya, menang kerbau saya, menang kerbau saya, diulanginya sebanyak tiga kali. Dari perkataan itu, maka daerah tersebut dinamai Minangkabau sampai sekarang.

Selanjutnya, Sayyid Umar berdakwah di Banjarmasin beberapa tahun, kemudian melanjutkan dakwah ke Makassar. Di Makassar, Raja Hasanuddin menceritakan kepada Sayyid Umar bahwa beliau bermimpi selama tujuh hari berturut-turut bertemu dengan Sayyid Umar. Pada hari yang ketujuh, beliau diminta untuk menjemput gurunya dengan menaiki kuda menuju pantai. Namun apa yang terjadi, setibanya di pantai, Raja Hasanuddin tiba-tiba melihat Sayyid Umar sedang melakukan sholat subuh di pinggir pantai. Karena itu, Raja Hasanuddin pun mengajak Sayyid Umar ke Istana. Di istana, Sayyid Umar mendakwahkan Islam, dan raja Hasanuddin pun menerima Islam yang ditandai dengan pemberian Gentong Emas kepada Sayyid Umar. Gentong Emas tersebut, saat ini masih tersimpan di Museum Makassar.

Setelah dirasa berhasil berdakwah di Makassar, Sayyid Umar kemudian melanjutkan dakwah ke Ternate. Disana beliau berhasil mengislamkan raja Cirililiyati yang kemudian berganti nama dengan Syahadatin. Di Ternate ini, beliau berdakwah kurang lebih tiga sampai empat tahun. Setelah itu, beliau berkeinginan pulang ke Padang Panjang. Dalam perjalanan pulang itu, beliau tidak langsung menuju Padang Panjang, tapi beliau singgah dulu di Sape.

Sampai disni ceritanya terputus. Hanya diceritakan bahwa yang datang ke Sape itu adalah Syaikh Nurul Mubin. Apakah Syaikh Nurul Mubin itu Syaikh Umar itu sendiri atau anaknya cucunya Syaikh Umar, wallahu a’alam perlu penelusuran lebih lanjut. Menurut penuturan anak keturunannya di Soro Sape, Syaikh Nurul Mubin, datang ke Sape dengan menaiki kuda, diperkirakan pada akhir abad ke 17, awal abad ke 18 M. Kalau memang perkiraan ini benar, bisa jadi beliau termasuk pendakwah pertama yang datang ke Sape karena berdasarkan catatan BO Sangaji Kai, Islam masuk Bima pada abad ke-17.

Tempat pertama yang disinggahi adalah sori Jo, sori artinya sungai, Jo nama tempat yang lokasinya terletak di pinggir laut. Ketika sampai di sori Jo, kuda tersebut mati dan dikuburkan di situ. Sampai saat ini, kuburan kuda tersebut masih bisa dikunjungi. Setelah menguburkan kudanya, beliau berjalan kaki mencari murid sampai perkampungan Soro. Disinilah beliau menemukan murid dan tinggal situ dengan menempati rumah yang amat sederhana, sambil berdakwah dan akhirnya meninggal serta dimakamkan di kampung itu, tepatnya dipinggir sungai. Saat ini, makam tersebut sering dijiarahi oleh kerabat dan warga sekitar.

Menurut penuturan warga setempat, walaupun banjir bandang menerjang, makam tersebut tetap utuh sampai sekarang. Pada masa almarhum Nurlatif menjadi walikota Bima, makam tersebut dipugar dan di semen dengan baik sehingga terlihat terrawat. Konon, Nurlatif sendiri termasuk dari keturunan Syaikh Nurul Mubin dari keturunan Panggi Bima.

Beliau termasuk ulama kharismatik, pembawa Islam pertama di Sape Bima. Berdasarkan cerita yang ditutur dari mulut ke mulut oleh kalangan keluarga, banyak keistimewaan atau karomah yang pernah dilihat dan didengar tentang beliau. Diantaranya adalah;

(1) ketika terjadi kebakaran di kota Makkah, beliau menyiram tebing sungai di kampung Soro sambil mengatakan; “mudu Makka, mudu Makka, mudu Makka” yang artinya terbakar kota Makkah. Melihat perilaku beliau, orang-orang mengatakan bahwa beliau orang gila. Ketika itu, kebetulan musim haji. Diceritakan oleh muridnya yang dari Goa, bahwa dia bertemu dengan beliau di Makkah pada saat kejadian kebakaran itu. Dan dia melihat, beliau membantu memadamkan api. Beliau berpesan kepada muridnya agar menyampaikan salam kepada wa’i (istrinya) yang berada di Soro Sape. Sekembalinya sang murid dari Makkah, ia langsung menuju Soro Sape untuk menyampaikan pesan sang Guru. Sesampainya ia di depan rumah sang Guru, ia mengucapkan salam. Ternyata sang Gurulah yang membukakan pintu rumah dan menjawab salamnya.

(2) Kalau tidak ada ikan di rumah, biasanya beliau mancing ikan di kolong rumah (3) Pada suatu malam, turunlah hujan yang sangat lebat di Soro Sape. Warga Soro mengkhawatirkan robohnya rumah Syaikh Nurul Mubin yang sudah sangat rapuh (uma mbinca). Pada pagi harinya, orang-orang mendatangi beliau dengan menanyakan keadaan rumahnya. Beliau menjawab bahwa tadi malam tidak ada hujan. Jadi rumahnya baik-baik saja.

(4) Ketika sultan Bima ketinggalan kitab Sabilul Muhtadin di Madinah, sultan mengundang Syaikh Abdul Gani Dompu. untuk mencari tahu bagaimana caranya agar kitab itu bisa kembali. Syaikh Abdul Gani menyaarankan agar sultan berkendaraan dengan menaiki perahu menuju Madinah. Mendengar jawaban Syaikh Abdul Gani tersebut, sultan merasa kecewa, lalu sultan berinisiatif untuk memanggil Syeikh Nurul Mubin di Soro Sape. Kemudian Sultan memerintahkan 6 orang pengawal berkuda untuk menjemput Syeikh Nurul Mubin. Berangkatlah mereka menemui Syeikh Nurul Mubin untuk memberitahukan bahwa Sultan mengundang beliau ke istana. Sebelum 6 orang pengawal berkuda itu sampai di rumah Syaikh Nurul Mubin, Syaikh Nurul Mubin memberitahukan istrinya agar menyiapkan makanan untuk 6 orang. Sesampainya 6 orang pengawal itu di rumah Syaikh Nurul Mubin, mereka menjelaskan tentang tujuan kedatangan mereka. Beliau pun mengiyakannya, namun beliau mempersilahkan dulu menyantap makanan yang sudah tersaji untuk 6 oang pengawal tersebut. setelah selesai mereka makan, beliau menyuruh 6 orang pengawal berkuda itu untuk berangkat duluan. Sesampainya pengawal di istana, mereka melihat Syaikh Nurul Mubin sudah lebih dahulu sampai. Sultan memaparkan hajatnya kepada Syeikh Nurul Mubin mengenai kitab yang ketinggalan di Madinah. Lalu Syaikh Nurul Mubin manggut-manggut sambil berdzikir, maka tiba-tiba kitab tersebut jatuh dihadapan mereka dan kitab itu diserahkan kepada sultan.

Syeikh Nurul Mubin memiliki dua orang istri, yaitu Halimatussa’diah, putri dari sultan Goa dan Hamidah. Dari pernikahannya dengan Hamidah melahirkan beberapa orang anak. Diantaranya Sulaiman yang tinggal di Rontu, Bahtiar tinggal di Santi dan Azzumar tinggal di desa Donggobolo. Sulaiman memiliki lima orang anak, yaitu Muhammad, Kadir, Muslimin atau Datuk Lime, Abbas, dan Janibah dari isteri yang lain. Kemudian Muslimin atau datuk Lime memiliki empat orang isteri, yaitu Hamilah, Asiah, Mila Rontu dan Moa Salma Pena. Buah pernikahannya dengan Asiah menghasilkan empat orang anak, yaitu Sam’ilah, Halijah, Hamidah, dan Hafifah. Halijah atau yang biasa disapa oleh anak cucunya dengan Nene Laju, menikah dengan H. Musa keturunan ulama terpandang di Bima tapi beliau seorang duda yang memiliki seorang anak perempuan yang bernama Fatimah. Buah pernikahan Halijah dengan H. Musa ini melahirkan tujuh orang anak. Anak pertama laki-laki bernama Ibrahim dan enam orang adiknya perempuan semua, yaitu Hadijah, Halimah, Kamariah, Hawiyah, St. Hawa dan Marjan.

Menurut informasi yang berkembag di keluarga Nata Palibelo, sebagaimana yang dituturkan oleh H. Abubakar H. Usman bahwa salah satu anak dari Syaikh Nurul Mubin menikah dengan perempuan Nata sehingga beranak pinak di sana. Diceritakan ketika itu, ia berprofesi sebagai penjual kabaho yang dibawanya dari Sape. Ia menjajakan dagangannya dari desa satu ke desa lainnya sehingga sampailah ia di desa Nata. Setelah menjajakan dagangannya di Nata, ia tidak langsung pulang ke Sape, tapi menetap dulu untuk beberapa hari. Selama di Nata, ia nampak rajin beribadah dan terlihat sebagai orang yang mudah bergaul dan patuh pada agama sehingga menarik perhatian orang Nata yang pada akhirnya ia jatuh hati pada seorang gadis Nata yang kemudian disuntingnya sehingga menurunkan banyak keturunan termasuk H. Abubakar H. Usman sendiri.

Kemudian bagaimana sepak terjang beliau dalam mengajarkan agama Islam kepada murid-muridnya dan masyarakat sekitar, belum didapatkan informasi yang memadai. Perlu penelusuran lebihh lanjut untuk melengkapi sejarah hidup dan peran beliau dalam membumikan ajaran Islam di Bima khususnya di Sape. Namun terdapat sedikit informasi sebagaimana yang disampaikan oleh Ince Rohani Soro, salah seorang keturunannya, ia mendapatkan warisan dua buah kitab yang beraksara Arab Melayu dan kalau saya baca isinya mengarah kepada pemahasan ilmu kalam dan ilmu Tasawuf. Wallahu a’alm. By Syukri Abubakar dan Iwan Sadaruddin

Surabaya, 14 Desember 2018