Sekali lagi tentang Bid’ah

Menyambung kajian tentang bid’ah minggu lalu, hari ini, Prof. Ahmad Zahro menjelaskannya secara lebih detail berkaitan dengan analisis kategoris masalah bid’ah dalam bidang ibadah.

Berdasarkan definisi yang termuat dalam disertasi mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya yang mengkaji masalah bid’ah, Dr. Abdul Asrar dan Dr. Hamis Syafaq menjelaskan pengertian bid’ah sebagai “Sesuatu ajaran yang tidak ada tuntunannya dari Nabi Muhammad Saw. terkait dengan masalah aqidah dan ibadah”.

Terkait masalah ibadah, dipilah-pilah lagi berdasarkan analisis kategoris, mana yang dikatakan bid’ah dan mana yang tidak dikatakan bid’ah, yaitu:

1.Ibadah mahdhoh yang telah ditentukan waktu, tempat dan tata caranya oleh al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad Saw., jika tidak mengikuti ketentuan tersebut maka disebut bid’ah. Sebagai contoh, ibadah haji telah ditentukan waktu, tempat dan tata caranya. Waktunya dilaksanakan pada bulan haji di Makkah al-Mukarramah dengan kaifiyyat sebagaimana yang telah ditentukan. Jika dilakukan di bulan, tempat dan tata cara yang lain, maka dinamakan bid’ah. Misalnya pergi haji ke India atau ke Iran dan seterusnya.

2.Ibadah mahdhoh yang telah ditentukan waktu dan caranya, tapi tempatnya tidak ditentukan. Seperti sholat lima waktu dilaksanakan pada waktunya sesuai dengan tatacara yang telah ditetapkan. Adapun tempatnya bisa di masjid, mushollah, rumah atau tempat-tempat lain yang layak digunakan untuk sholat. Jika waktu dan caranya dirubah, maka dinamakan bid’ah. Misalnya sholat subuh digeser pada waktu isya, atau ditambah rakaatnya menjadi tiga.

3.Ibadah yang telah ditentukan tata cara dan tempatnya tapi tidak ditentukan waktunya seperti ibadah thowaf. Ibadah Thowaf itu adalah mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali. Tempatnya di Makkah al-Mukarramah. Waktunya bisa kapan saja. Jika menambah atau mengurangi jumlah thawaf maka itulah bid’ah. Atau thawaf dilaksanakan dengan ka’bah buatan di luar kota Makkah, kecuali diniati sekedar hanya untuk latihan bagi calon jama’ah haji atau latihan untuk memperkenalkan tatacara thawaf kepada anak-anak kecil.

4.Ada juga ibadah yang tidak ditentukan cara, waktu, dan tempatnya. Contohnya dzikir. Dzikir itu bebas secara kaifiyyat atau cara, bebas secara waktu dan bebas secara tempat. Karena perintahnya bersifat umum berdzikir sebanyak-banyaknya. Dari segi cara bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, bisa secara bersama-sama, bisa dilakukan secara keras-keras bisa juga secara khafi, bisa pagi hari, siang hari, malam hari atau kapanpun ada waktunya. Dzikir bisa dilakukan di rumah, di masjid, musholla, atau dimana saja yang layak, kecuali di WC.

Kemudian Prof. Ahmad Zahro bercerita bahwa suatu waktu, di masjid al-Akbar Surabaya, dikunjungi oleh Imam Masjidil Haram, setelah selesai sholat, beliau diberi kesempatan untuk berdiskusi, tanya jawab dengan jama’ah sholat. Seorang jama’ah bertanya tentang dzikir berjama’ah usai sholat. Imam Masjidil Haram yang wahabi itu menjawab bahwa dzikir berjama’ah usai sholat itu bid’ah. Setelah acara tanya jawab usai, Prof. Ahmad Zahro mengajak diskusi Imam Masjidil Haram di ruang khusus terkait jawaban bid’ah tadi. Prof. Ahmad Zahro menjelaskan panjang lebar tentang masalah bid’ah ini, Imam Masjidil Haram yang dari segi umur lebih tua dari Prof. Ahmad Zahro itu pun mengerti dan paham.

Hadist Nabi yang menjelaskan tentang dzikir itu bisa hadist qauli, biasanya dimulai dengan kata-kata sami’tu, saya mendengar, bisa hadist fi’li, biasanya diawali dengan kaana, suatu saat, atau hadist taqiri dimana Nabi diam atau menyetujui apa yang dilakukan oleh para sahabatnya tanpa menegur atau melarangnya.

Yang membuat beliau heran adalah orang yang berusaha untuk melakukan amal kebajikan, kok dipersoalkan. Seharusnya yang dipersoalkan itu mereka yang tidak melakukan amal apa-apa. Oleh karenanya, beliau menegaskan bahwa orang yang beramal itu pasti ada dalilnya, tidak mungkin orang yang beramal tanpa dalil. Perkara tidak setuju dengan dalil yang dijadikan patokan, ya tidak masalah, yang penting tidak melanggar aturan agama.

Orang yang melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, ada dalilnya, orang yang melakukan dzikir secara berjama’ah ada dalilnya bahkan yang tidak melakuka dzikir pun, ada dalilnya karena mengganggap bahwa dzikir itu hukumnya sunnah saja. Jadi menurut beliau, orang yang mudah mengatakan bid’ah itu adalah mereka-mereka yang belum menemukan dalilnya.

Oleh karenanya, beliau menekankan sekali lagi, jangan mudah mengkafirkan saudara muslim, jangan mudah mencap saudara muslim menjadi ahli neraka, jangan mudah memunafiqkan saudara muslim dan jangan mudah membid’ah-bid’ahkan amalan saudara muslim, karena hal itu akan membuat mereka sakit dan tersinggung sehingga menimbulkan perpecahan diantara umat. Bahkan takutnya nanti, mereka yang biasa membid’ahkan orang lain itulah ahli bid’ah yang sebenarnya. Wallahu a’lam.

Surabaya, 13 Desember 2018