Pengalaman Spiritual Sang Guru

Konon hiduplah salah seorang guru dengan penampilan yang amat sederhana disuatu desa antah berantah nan jauh disana. Guru ini berkeinginan kuat agar orang-orang di desanya, tua muda bahkan anak-anak dapat membaca dan memahami al-Qur’an dengan baik dan benar.
Guru tersebut bercerita bahwa untuk mewujudkan cita-cita itu, harus ada keinginan kuat dari yang bersangkutan terlebih dahulu, baru disediakan wadah, tempat yang dijadikan sarana tatap muka untuk pengajarannya. 

Sang guru pun melontarkan ide itu dihadapan warga kampung apakah ide tersebut diterima atau ditolak. Warga yang merasa kekurangan dalam bidang agama pun mengiyakan ide sang guru. Karena menurut warga ide tersebut sangat membantu mencerdaskan warga beserta sanak keluarganya.
Untuk mewujudkan ide tersebut, sang guru menghimbau warga agar bergotong royong membangun sebuah mushollah untuk dijadikan sarana ibadah dan mengaji. Setelah mushollah dibangun, banyak tantangan yang dihadapi oleh sang guru, terutama bagaimana memakmurkan mushollah itu dengan kegiatan sholat berjama’ah lima waktu dan kegiatan belajar mengaji al-Qur’an.
Menurutnya, mengajak orang itu tidak boleh hanya sekedar menyampaikan ceramah tapi harus dilakukan dengan pendekatan individual sesuai dengan karakter masing-masing warga. Sang guru terlebih dahulu membaca karakter setiap warga agar mengetahui metode apa yang harus digunakan sebagai sarana penyadarannya.
Begitulah hari demi hari, bulan berganti, tahun berlalu, sedikit demi sedikit warga tersadarkan walau tidak seluruhnya, tapi yang terlihat mata bahwa kesadaran warga untuk sholat berjamaah lima waktu di mushollah sang guru sangat tinggi terlihat dari jumlah shaff yang ada. Begitu juga dengan kegiatan mengaji anak-anak semakin semarak setiap harinya. Semua berkah ini tidak terlepas dari hasil riyadhah yang dilakukan oleh sang guru setiap malamnya.
Sang guru menuturkan bahwa setiap upaya yang kita lakukan harus dijalani dengan konsisten, istiqamah disertai dengan kesadaran dan kesabaran. Segala sesuatu yang dilakukan secara konsisten dan telaten insya Allah akan membawa hasil yang maksimal.
Sang guru mencontohkan apa yang pernah beliau praktekkan secara konsisten dalam upayanya meraih malam lailatul qadr. Beliau tidak memastikan bahwa beliau mendapatkan lailatul qadr, tapi kalau dilihat dari isyarat yang disampaikan oleh baginda Nabi Besar Muhammad Saw. dalam hadistnya, mengarah ke sana. 
Sang guru menginformasikan bahwa untuk menggapai malam lailatul qadr harus dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum bulan ramadhan. Dan itulah yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf jaman dulu. Bagaimana caranya?. Sang guru katakan, kita harus membaca ayat yang berkaitan dengan malam lailatur qadr secara konsisten istiqamah. Kapan dan dimana membacanya?, yakni dibaca dalam salah satu rakaat shalat ba’da al-Fatihah. Shalat apapun yang kita lakukan setiap harinya, kita usahakan Qs. al-Qadr dibaca dalam salah satu rakaatnya. Jika memungkinkan, shalat kita sepanjang tahun dipraktekkan seperti itu.
Praktek seperti ini memang tidak berdasarkan dalil khusus, tapi bisalah kita cantolkan dengan dalil umum mengenai keistiqamahan suatu amalan yang mengakibatkan banyak manfaat. Jadi amalan seperti ini tidak perlu dipertentangkan tapi butuh dilakukan dan dijalani. Lihatlah hasilnya setelah diamalkan. 
Sang guru menginformasikan secara rahasiakepada sang murid bahwa beliau pernah mendapatkan isyarat malam lailatul qadr, paling tidak dua tiga kali dalam tahun yang berbeda pada tanggal yang ganjil akhir bulan ramadhan.
Pertama, pada suatu malam ganjil 10 hari terakhir bulan ramadhan, tiba-tiba cahaya putih dari langit memancarkan sinarnya masuk menerobos atap genteng rumah, seakan-akan genteng rumah pecah berantakan. Ketika diperiksa pagi harinya, genteng baik-baik saja.
Kedua, saat tidur-tiduran di mushollah setelah lelah melakukan amalan pada malam ganjil bulan ramadhan, tiba-tiba datang angin mengelilingi wajahnya mengeluarkan suara ya hayyu ya qayyuum.
Ketiga, pada malam ke dua puluh sembilan ramadhan habis subuh, melihat awan membentuk asma Allah di atas langit di sebelah timur sana.
Sang guru menerka-nerka barangkali beberapa isyarat di atas merupakan tanda-tanda malam lailatul qadr. Wallahu a’lam. Sang guru juga menambahkan agar apa yang dirasa, dilihat dan didengar itu memiliki nilai, maka harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. 
Selain itu, sang guru juga menceritakan pengalaman spiritualnya bertemu dengan Nabi Ibrahim As dan Nabi Hidir As sekaligus dalam satu tempat. Sang guru menuturkan pada suatu malam, beliau bermimpi melakukan sholat berjama’ah dengan sang Imam dan dua orang makmum, dirinya dan satu orang lainnya. 
Setelah selesai melakukan sholat, makmum disebelahnya mengajak salaman kepada beliau sambil bertanya “tahukan kamu siapa yang menjadi Imam kita?â€�, sang guru menjawab “tidak tahu tuanâ€�. Makmum itu memberitahukan bahwa yang menjadi Imam adalah bapakmu. Sang guru pun penasaran dengan jawaban tersebut, lalu bertanya lagi “bapak saya pribadi yaâ€�?. Makmum itu menjawab “bukan bapak kandungmu tapi Nabi Ibrahim Asâ€�. Lalu makmum bertanya lagi “apakah kamu kenal dengan ku?â€�, sang guru menjawab “tidak tuanâ€�. Makmum itu pun memperkenalkan namanya “saya adalah Nabi Hidir Asâ€�. Setelah itu, sang guru terbangun dari mimpinya. 
Tanda-tanda untuk mengetahui Nabi Hidir As menurutnya, ketika salaman, ibu jari kanan Nabi Hidir As tidak bertulang, terasa ibu jarinya lemas, begitu sang guru menguraikan ketika itu.
Sang guru memberitahukan bahwa untuk mencapai maqam seperti ini harus istiqamah melakukan suatu amalan. Beliau mengaku telah puluhan tahun mengirimkan do’a al-Fatihah untuk 25 Nabi dan Rasul, mulai Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad Saw. dan terkhusus kepada Nabi Khidir As.     
Itulah sebagian amalan dan keberkahan yang sang guru rasakan sebagai pengalaman spritual dalam menjalani kehidupannya. Memang kehidupan ini penuh dengan warna, tinggal bagaimana kita mewarnainya dengan warna yang membuat kita nyaman dalam menjalani hidup. Wallahu a’lam.
Surabaya, 11 Juli 2017