Makna Nikah Sirri Bagi Kalangan Berkeluarga di Sidoarjo

Kali ini saya mencoba membaca sebuah penelitian disertasi yang ditulis oleh Haris Hasanuddin yang meneliti tentang Makna Nikah Sirri bagi Kalangan Berkeluarga di Sidoarjo. Menurutnya, dia tertarik membahas tema ini karena melihat geliat nikah sirri yang dilakukan oleh orang yang sudah berkeluarga di Sidoarjo. Padahal menurutnya, pelaksanaan nikah sirri itu melanggar Undang-undang No. 1 tahun 1974 serta peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
Oleh karenanya, dia ingin mengetahui beberapa hal yang terkait dengan: bagaimana pemahaman pelaku nikah sirri dari kalangan keluarga tentang nikah sirri, bagaimana konsep keluarga menurut pelaku nikah sirri, mengapa kalangan keluarga melakukan nikah sirri, dan bagaimana pelaku memaknai nikah sirri yang dilakukannya.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, dia mengumpulkan data dengan cara observasi secara partisipatif, wawancara dengan sejumlah pelaku nikah sirri yang sudah berkeluarga, mudin atau kiai yang menikahkan, dan petugas pencatat akta nikah serta melakukan FGD (fakus group discussion) untuk memperkuat data-data yang sudah terkumpul. 
Dalam memberikan pengertian makna nikah sirri, ia mengutip pandangan Yusuf ad-Durawaisy, memaknai nikah sirri sebagai pernikahan yang dilakukan secara rahasia, karena tidak diumumkan kepada masyarakat secara umum dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Kerahasiaan dalam praktik nikah sirri ini menjadi sumber perdebatan ulama fiqh, mulai dari ulama klasik hingga ulama kontemporer. Ada yang mengatakan sah secara agama dan sebagian yang lain mengatakan tidak sah karena alasan tertentu. 
Ia juga mengetengahkan pendapat Imam mazhab terkait dengan pernikahan, yaitu Imam Hanafi, Shafi’i, dan Hambali berpendapat bahwa nikah yang tidak dihadiri oleh saksi dinyatakan tidak sah, karena kehadiran saksi menjadi syarat yang harus dipenuhi. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa nikah tanpa saksi itu sah. Tapi wajib diumumkan setelah dilakukan akad nikah. Artinya jika pernikahan dilakukan secara rahasia kemudian tidak diumumkan, maka pernikahannya batal. 
Makna nikah sirri itu, sebenarnya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu perspektif agama dan perspektif sosial. Dari sudut pandang agama, nikah sirri dimaknai sebagai nikah yang dilakukan secara sembunyi, tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, dan tidak diumumkan kepada masyarakat. Nikah ini dinilai tidak sah karena melanggar ketetapan ajaran agama Islam sebagaimana praktek nikah pada masa Umar bin Khattab (nikah yang hanya dihadiri oleh satu saksi laki-laki dan satu saksi perempuan). Sementara dari sudut pandang sosial, nikah sirri dimaknai sebagai nikah yang dilakukan secara diam-diam dan memenuhi syarat dan rukun nikah sesuai dengan ajaran agama, namun tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah, petugas pemerintah. Nikah ini dilakukan secara personal dan tidak diiklankan secara massal kepada masyrakat luas.
Selanjutnya, ia memaparkan hasil penelitian berdasarkan data yang dikumpulkan dapat diketengahkan sebagai berikut, bahwa pelaku nikah sirri kalangan keluarga memahami bahwa pernikahan adalah akad untuk melakukan penyatuan antara suami dan isteri sesuai dengan syariat agama. Sah dan tidaknya pernikahan diukur dari syarat dan rukun nikah, sesuai dengan ajaran Islam. Pemahaman agama pelaku dijadikan landasan utama dalam melegitimasi sah tidaknya nikah sirri yang dilakukan. Menurut mereka, ketentuan agama yang secara detail tidak mensyaratkan agar pernikahan didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Oleh sebab itu, PP tentang aturan pernikahan hanya untuk menertibkan administrasi dan tidak menjadi penentu sah tidaknya pernikahan. Pasangan nikah sirri mengatakan, akad nikah tidak perlu dicatat di KUA, jika sekedar untuk menghalalkan hubungan suami isteri. Jadi menurut mereka kalau pernikahan itu sudah sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh agama, maka pernikahannya sah.
Selanjutnya terkait dengan faktor yang mempengarui nikah sirri terdapat dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terkait dengan kebutuhan seks dan keyakinan teologis pelaku, bahwa ajaran Islam membenarkan praktek nikah sirri. Asalkan dilakukan sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh Islam. 
Adapun faktor eksternal diantaranya adalah 1) faktor tingkat pendidikan yang rendah, walaupun terdapat sebagian kecil yang berpendidikan tinggi, 2) Faktor interaksi sosial, pengaruh pergaulan dengan orang-teman-kolega yang sudah nikah sirri, 3) konflik keluarga, misalnya tidak ada ijin dari isteri tua, 4) Faktor budaya, budaya turunan yang melakukan nikah sirri, ada juga kepercayaan di Jawa yang mengatakan bahwa “semakin muda isteri yang dikawini, menjadikan lelaki itu awet muda�.
Selanjutnya kalangan keluarga yang melakukan nikah sirri, memaknai nikah sirri sebagai nikah di bawah tangan, yaitu nikah yang tidak didaftarkan dan dicatat secara resmi oleh pegawai pencatat nikah. Sebagian pelaku menyebutnya nikah lari yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa persetujuan atau perwalian, namun dilakukan dengan menggunakan wali hakim.
Pelaku nikah sirri memaknai bahwa nikah sirri memiliki fungsi untuk menentramkan batin dari rasa berdosa ketika melakukan hubungan suami isteri. Legitimasi agama bukan sebagai bentuk ketaatan atas ajaran semata, tetapi nikah sirri untuk menutup dosa dari perzinaan. Jadi secara teologis, pelaku memaknai nikah sirri sebagai ritual nikah yang sah karena Islam membolehkannya (QS. An-Nisa’: 3).
Secara sosiologis, pelaku nikah sirri memaknai pernikahan sebagai kebutuhan hidup. Nikah yang dilakukan hanya membangun ikatan suami isteri yang sah. Namun pelaku nikah sirri tidak membangun sub sistem sosial dalam bentuk keluarga yang resmi dan memiliki administrasi kemasyarakatan. Mereka memahami bahwa status sosial nikah sirri termasuk nikah tidak resmi dan melanggar perundang-undangan yang berlaku dalam hukum perkawinan. 
Kesimpulannya pelaku nikah sirri kalangan keluarga mendefinisikan nikah sebagai akad untuk melakukan penyatuan antara suami-istri sesuai syariat Islam. Pernikahan tidak harus dicatat petugas pencatat nikah sebagai pengesahan. Latarbelakang dilakukannya nikah sirri dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, terutama faktor kebutuhan seks. Pelaku nikah sirri memaknai nikah sirri sebagai ritual untuk menenteramkan bathin agar tidak merasa berdosa. Nikah sirri ada dua macam, yaitu nikah sirri yang memenuhi syarat dan rukun nikah serta nikah sirri yang tidak memenuhi syarat dan  rukun nikah. Secara sosial, keluarga hasil nikah sirri tidak memiliki fungsi sebagai struktur sebagaimana keluarga formal. Fungsi-fungsi dalam keluarga hasil nikah sirri berubah menjadi disfungsi, karena penolakan dari keluarga formal yang telah dimiliki sebelumnya.
Catatan penting. Sedikit masukan untuk mengkritisi tulisan ini, saya mempertanyakan mengapa mengambil tempat di Sidoarjo? Apa keunikan nikah sirri di Sidoarjo dengan daerah-daerah yang lain?. Bukankah praktek nikah sirri di Sidoarjo hampir sama dengan praktek nikah sirri di tempat yang lain?. Kalau memang sama, mengapa harus diteliti?. Oleh karenanya, peneliti perlu memberikan alasan yang ilmiah mengapa Sidoarjo dijadikan tempat penelitian.  
Wallahu a’lam
Surabaya, 30 April 2016