Kalikuma Educamp:  Ngaji Fi tua Teks dan Konteks

STIT SUNAN GIRI BIMA, KOTA BIMA. Ahad, 02 Januari 2020, Kalikuma Educamp melaksanakan diskusi dengan tema Ngaji Fitua antara teks dan konteks. Diskusi kali ini mendatangkan beberapa pemantik diskusi di antaranya Abaduwahid sebagai tuan rumah, Sudirman Makka sebagai pegiat Fitua, Syukri Abubakar dan Fahru Rizki sebagai pemerhati Fitua, bang Alan Malingi pemerhati budaya Bima dan masih banyak lagi pembicara-pembicara lainnya.

Diskusi kali ini sangat unik karena semua peserta diskusi diberi kesempatan satu persatu untuk menyampaikan pengetahuan dan pengalamannya mengenai Fitua, karena Ngaji Fitua ini termasuk ilmu yang bersifat rahasia dan karenanya tidak semua orang memahaminya secara mendalam.

Oleh karena kerahasiaannya itu, maka Kalikuma educamp mencoba membuka sedikit celah yang dapat dikaji dibalik kerahasiaan Ngaji Fitua agar diketahui oleh generasi muda Bima.

Diskusi ini merupakan permulaan dari rangkaian diskusi Fitua yang direncanakan berkelanjutan. Oleh karenanya, diskusi ini mencoba menggali apa sebenarnya Fitua itu,  kapan Fitua mulai dikenal oleh masyarakat Bima, bagaimana perkembangannya,  dan bagaimana aplikasinya dalam tata kehidupan masyarakat Bima.

Terdapat beberapa hal penting yang dapat dipetik dari diskusi sesi pertama ini di antaranya; terkait dengan istilah Fitua, sejarah awal munculnya, tema-tema kajian yang disampaikan, metode pengajarannya, keterkaitannya dengan ajaran Islam, dan lain-lain.

Istilah Fitua atau Ngaji tua atau Fiki tua sudah sering didengar oleh masyarakat Bima, namun demikian tidak banyak orang yang mengetahui secara mendalam apa sebenarnya Fitua tersebut. Berdasarkan hasil kajian beberapa pembicara bahwa istilah Fitua atau Ngaji tua berasal dari “Fiki” dan “Tua” atau “filsafat” dan “tua”, sehingga didefinisikan sebagai ilmu yang berasal dari hasil kajian orang tua Bima yang bersandarkan dalil naqli al-Qur’an dan Hadist Nabi terutama hadist Qudsi dan dalil aqli akal pikiran difungsikan sebagai alat untuk menggali atau menafsirkan makna tersembunyi dari kedua sumber tersebut.

Kajian lebih komprehenship Fitua adalah kajian tentang Asma’, sifat dan af’al Allah Swt., penciptaan Nabi Muhammad Saw. dengan Nur Muhammadnya, pengenalan diri dan ibadah sholat. Di samping itu, kajian Fitua juga sangat terkait dengan masalah sosial keagamaan dan masalah sosial politik. Beberapa kajian tersebut mengarah kepada penghambaan diri kepada Allah Swt. dengan cara mentauhidkan-Nya dan mendekatikan diri dengan beribadah kepada-Nya.

Kajian seperti ini sangat dipengaruhi oleh ajaran tarekat yang dibawa oleh pendakwah Islam awal yang masuk di tanah Bima seperti datuk ri Bandang dan datuk ri Tiro, Qadhi Jamaluddin dan beberapa pendahwah lainnya . Datuk ri Tiro sendiri terkenal dengan ahli tasawuf dan daruk ri Bandang dikenal dengan ahli Syari’ah (Fiqh). Martin Van Bruinessen, penulis buku “Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat” dan “Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia” antropolog Belanda, menjelaskan bahwa Islam yang dibawa ke Nusantara adalah Islam bercorak tasawuf.

Pengajaran Islam awal, sebagaimana dikisahkan oleh Sudirman Makka, dimulai dengan pengajaran tauhid, mengenalkan Allah Swt. yang Esa, mengajarkan bagaimana berhubungan dengan Allah, hablum minallah dan bagaimana berhubungan dengan sesama manusia dan alam sekitar. Setelah masyarakat paham akan hal itu, barulah diajarkan Syari’at yang wajib dilakukan, yakni sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu.

Selama ini, Ngaji Fitua hanya dijalankan oleh sebagian kecil masyarakat Bima karena didasari oleh berbagai macam alasan. Di antara alasan yang sering dilontarkan bahwa Ngaji Fitua merupakan ngaji yang bersifat rahasia dan tidak sembarang orang dapat mempelajarinya. Seorang guru akan meneliti apakah dia layak diajarkan Fitua atau tidak. Kalau dinyatakan layak dan siap menjadi murid, barulah seorang guru akan mengajarkan Fitua dengan cara “Ngaji Kalambu”, Ngaji tertutup yang hanya dihadiri oleh seorang murid saja.

Jika ingin melakoni Ngaji Fitua, maka seorang murid harus mempelajari terlebih dahulu ilmu syari’at (fiqh), karena ilmu syari’at merupakan pondasi utama seseorang dalam beragama setelah syahadat. Fitua termasuk dalam pusaran ilmu hakikat. Oleh karena itu, seorang murid harus membekali diri terlebih dahulu dengan dasar-dasar agama yang kuat agar tidak salah jalan.

Karena itu, banyak kalangan menyangsikannya entah karena kurangnya informasi tentang Fitua sehingga mereka tidak terlalu paham keberadaan Fitua atau memang dalam kenyataannya banyak pengamal Fitua yang tidak memperhatikan amalan syariat. Apakah klaim tersebut benar adanya?, maka perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut sehingga mendapatkan gambaran yang jelas.

Jika dicermati lebih mendalam, kajian Fitua begitu dalam dan luas sehingga membutuhkan waktu dan energi dalam proses pembelajarannya. Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa kajian Fitua bersandar pada dalil al-Qur’an dan hadist Nabi namun tidak jarang mereka tidak mampu menunjukkan ayat dan hadist yang dijadikan rujukan. Hal ini terjadi karena memang penerimaan ilmu Fitua hanya didasarkan pada penjelasan seorang guru tanpa ada kitab atau buku rujukannya, sehingga tidak mengherankan mereka yang faham Fitua bisa dari kalangan mana saja, kalangan terdidik hingga kalangan yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah sekalipun. Mereka berguru kepada seorang yang faham Fitua dengan mengandalkan pendengaran saja.

Karenanya, hingga saat ini kajian-kajian akademik terkait Fitua Bima sangatlah minim sekali. Jika hendak mendalami Fitua, maka harus mewancarai pelaku-pelaku Fitua yang tersebar di berbagai pelosok desa di Bima atau menggali dari naskah-naskah kuno peninggalan leluhur yang masih berserakan pada anak keturunannya.

Dari uraian di atas, jelas bahwa Fitua tidak murni produk budaya tanah Bima an sich, tapi produk budaya yang sudah dipengaruhi oleh ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bima, karena sumber yang dijadikan rujukan Fitua adalah al-Qur’an dan Hadist Nabi, serta akal manusia yang digunakan untuk menggali makna dibalik ayat dan hadist Nabi.

Ngaji tua yang dipengaruhi oleh ajaran Islam ini dibawa oleh para ulama yang mendakwahkan Islam di tanah Bima, baik yang datang dari luar Bima maupun dari Bima sendiri. Mereka adalah pendakwah hebat pada jamannya yang mengajarkan Islam sepenuh hati mulai dari sultan hingga masyarakat awam.

Pendakwah tersebut mengenalkan ajaran Islam bercorak tasawuf yang diajarkan melalui mistis keagamaan yang berbentuk tarekat (praktik spiritual atau bimbingan seorang pemimpin tarekat) yang saat itu sudah berkembang pesat di nusantara, di antaranya tarekat Khalwatiyah Sulawesi Selatan yang diperkenalkan oleh Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al-Makassari, tarekat Samaniyah (cabang tarekat Khalwatiah di Sumatra) oleh Syaikh Abd. Shamad al-Palimbani, tarekat Syatariyah oleh Syaikh Abd. Rauf Sinkel Sumatera Selatan, tarekat Alawiyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Musa al-Muhajir tersebar di Indonesia melalui muridnya Syaikh Ar-Raniri, tarekat Qadariyah oleh Syaikh Fansuri, tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas, dan lain-lain.

Di Bima sendiri, menurut penelusuran Fahru Rizki, tarekat-tarekat yang pernah berkembang di antaranya tarekat Khalwatiyah yang dibawa oleh orang-orang Melayu gelombang II, Dato Maharajalela dengan ritus Hanta Ua Pua, tarekat Naqsabandiyah yang dibawa oleh Syaikh Umar al-Bantani pada masa sultan Bima II dengan ritus barzanji, tarekat Rifa’iyah pada masa sultan Abdul Hamid (1773-1817 M), tarekat Samaniyah berkembang pada tahun 1770-an, tarekat Haddadiyah dengan zikir Ratibnya berkembang pada abad ke-19, dan tarekat Satariyah yang dibawa oleh orang-orang Minang.

Untuk memperjelas tentang pendakwah Islam di tanah Bima, berikut beberapa catatan sejarah yang tersebar dalam beberapa naskah;

Pertama,

Tawalinuddin Haris mengutip catatan perjalanan Heinrich Zollinger, pakar botani Swiss yang sempat mengunjungi Sumbawa sekitar 1840-an menjelaskan bahwa Islam di Bima pertama kali datang dari Jawa periode 1450-1540. (Kesultanan Bima masa Pra Islam sampai Awal Kemerdekaan, 2019).

Pendapat tersebut diperkuat oleh keterangan yang dimuat dalam babad Lombok bahwa pasca Majapahit Runtuh tahun 1478 M, Islam masuk ke Lombok dibawa oleh Sunan Prapen, putra susuhunan Gresik. Setelah masyarakat Lombok (Lombok Utara) dapat diislamkan, Sunan Prapen melanjutkan perjalanan ke arah timur untuk mengislamkan masyarakat Sumbawa, Dompu hingga Bima. Peristiwa tersebut terjadi pada abad ke 16 M. Ada yang menyatakan bahwa Islam yang dibawa oleh Sunan Prapen merupakan ajaran Islam Tasawuf dan beliau belum sempat menyelesaikan pengajaran Syari’at Islam hingga tuntas sehingga sholat hanya dilaksanakan tiga kali sehari atau lebih dikenal dengan “Islam Wetu Telu” yang masih bercampur dengan ajaran animisme dan dinamisme.

Dakwah Islam yang dilakukan oleh Sunan Prapen di Bima itu, hingga kini, belum ditemukan jejaknya untuk dijadikan bukti sahih bahwa beliau pernah menginjakkan kaki di tanah Bima. Hal ini perlu bukti lain untuk menunjang kesahihan informasi tersebut.

Kedua,

Pendapat lainnya menyebutkan Jawa Barat sebagai salah satu titik keberangkatan masuknya Islam. Roufaer, misalnya, meyakini bahwa Islam di Bima dibawa dari Cirebon, Aceh, dan Melayu. Peneliti Belanda ini juga menyoroti tingginya penghormatan atas orang-orang Melayu di Bima. Sebagai contoh qadhi Jamaluddin, guru sultan Abdul Kahir yang berdarah Melayu dikebumikan di samping makam Sultan Abdul Kahir I di pekuburan Danatraha kelurahan Dara. (Kesultanan Bima masa Pra Islam sampai Awal Kemerdekaan, 2019).

Ketiga,

Pada tahun 1511 M, Potugis mengalahkan Malaka. Akibatnya, banyak pedagang muslim yang menetap di Malaka menyebar ke Jawa, Bima hingga  Maluku. Di samping berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam di tempat-tempat yang mereka singgahi, termasuk di Bima.

Keterangan tersebut sesuai dengan catatan penjelajah Portugis, Tome Pires (meninggal 1540) yang menulis bahwa Jawa dan Bima telah menjadi titik transit pemburu rempah dari Malaka menuju Maluku.

Keempat,

Sebagaimana dimuat dalam cerita raja-raja Ternate disebutkan bahwa pada masa sultan Babullah (1570-1583) berkuasa, kontak Ternate dan Bima dalam mendakwahkan Islam semakin meningkat. Informasi ini diperkuat juga oleh kisah keturunan Syaikh Nurul Mubin Soro Sape yang biasa disapa Ama Bibu bahwa moyang mereka dulu berasal dari tanah Makkah al-Mukarramah menyebarkan agama Islam di India kemudian pindah ke tanah Minang lalu ke Sulewesi terus ke Maluku dan berakhir di Soro Sape Bima. (Syukri Abubakar, Biografi Syaikh Nurul Mubin Sape Soro, 2015).

Kelima,

Pada tahun 1609 M (abad ke-17), Datuk Ri Bandang (Abdul Makmur, ahli fiqh), Datuk Ri Tiro (Abdul Jawad, ahli tasawuf), berasal dari Koto Tangah, Minangkabau datang ke Bima untuk mengajarkan Islam kepada Sultan Abdul Kahir (1611-1640 M) dan masyarakat Bima.

Setelah keduanya dipanggil pulang oleh sultan Goa untuk berdakwah disana, sultan Bima meminta kepada kedua datuk tersebut untuk mencarikan pengganti mereka. Datuk Raja Lelo, cucu datuk ri Bandanglah yang menggantikan posisi kedua datuk itu, yang ditemani oleh datuk Iskandar, datuk Selang Koto, datuk Lela dan datuk Panjang. (Ahmad Amin, 177: 2019).

Keenam,

Pada masa sultan ke dua Abil Khair Sirajuddin (1640-1682 M ), sultan ketiga Nuruddin (1682-1687 M) dan sultan keempat Jamaluddin (1687-1696 M), Syaikh Umar al-Bantani ayahnya Imam Nawawi al-Bantani diajak ke Bima untuk mengajarkan Islam keluarga sultan dan masyarakat Bima.

Keenam,

Pada masa sultan ke enam, Alauddin Manuru Daha (1731-1748 M) Syaikh Subuh menulis mushaf yang bernama La Lino. Beliau memiliki putra yang bernama Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi (1780 M) bin Subuh/Subur bin Ismail bin Abdul Karim, Imam Masjidil Haram. Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi hidup pada masa sultan Abdullah, awal pemerentahan sultan Ibrahim, paruh akhir abad ke-18 awal abad ke 19). Syaikh Abdul Ghani menikahi gadis Dompu dan melahirkan Syaikh Mansur. Syaikh Mansur yang dikenal dengan sehe Ja’do menurunkan dua orang putra, Syekh Mahdali (sehe boe) dan Syekh Muhammad.

Ketujuh,

Syaikh Nurul Mubin atau Amabibu Soro Sape. Beliau ini sejaman dengan Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi. Beliau juga dikenal sebagai orang yang memiliki karomah. Keturunan beliau di antaranya TGH. Ibrahim Ntobo (masa sultan Muhammad Salahuddin) yang terkenal dengan karomahnya dan menjalani Tarekat Qadariah wa Naqsabandiyah yang dipelopori oleh Abdul Khatib Sambas Kalimantan Timur

Kedelapan,

Pada masa sultan ke tiga belas Ibrahim ma waa halus (1881-1915 M) terdapat Syaikh Abubakar bin Nawawi Ngali yang menjadi juru dakwah Islam di Bima. Beliau lama muqim di Makkah untuk mendalami agama Islam yang kemudian diajarkan di Bima. (Syukri Abubakar, Biografi Syaikh Abubakar Ngali, 2019).

Kesembilan,

Pada masa sultan ke empat belas Muhammad Salahuddin, banyak Tuan Guru yang menjadi tenaga pengajar agama Islam di Bima. Di antaranya TGH. Muhammad Said Ngali, TGH. Usman Abidin, Tuan Imam Abdurrahman Idris, TGH. Ishaq Abdul Kadir, TGH. A. Malik Sulaiman Ngali, TGH. Abubakar Husen, dan lain-lain.

Sepuluh,

Pasca kemerdekaan, muncul Tuan Guru- Guru muda di antaranya TGH. A. Thalib Usman, TGH. Said Amin. Mereka berdua termasuk sosok yang lumayan lama belajar di Makkah al-Mukarramah, bahkan mereka memiliki guru hadist dari Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani abad ke-20, dari gurunya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani abad ke-19, dari gurunya Syekh Abd Shamad al-Falimbani abad ke-18, dari gurunya Syekh Abdurrauf al-Sinkili abad ke-17.

Dan yang lebih muda lagi terdapat TGH. Taufiquddin Hamy, TGH. Abdurrahim Haris, TGH. Ramli Ahmad, dan lain-lain.

Mereka itulah di antara pendakwah yang mengajarkan Islam dari masa ke masa hingga saat ini, baik Islam tasawuf, Islam Syari’ah, Hakikat dan Ma’rifat. Tentu masih banyak lagi pendakwah-pendakwah lain yang perlu ditelusur lebih lanjut untuk melengkapi daftar pendakwah yang pernah mewarnai dakwah Islam di Bima.

Syukri Abubakar