Kajian Dosen: Pemantapan Aqidah ahli Sunnah wal Jama’ah an-Nahdiyyah

STIT SUNAN GIRI BIMA, KOTA BIMA. Salah satu bentuk kegiatan yang hendak diwujudkan oleh lembaga STIT Sunan Giri Bima adalah membiasakan pelaksanaan kajian keilmuan di kalangan mahasiswa dan dosen baik berupa seminar, studium general, workshop, kajian rutin, diskusi dosen, dan lain-lain.

Kali ini, Sabtu sore, 5 Oktober 2019, atas inisiatif dari unsur pimpinan, diskusi rutin dosen dihelat dengan mengundang Mustafa Umar, M.Pd.I., pegiat aswaja, sebagai pembicara dengan tema “Pemantapan Aqidah ahli Sunnah wal Jama’ah an-Nahdiyyah”.

Dalam kata pembukanya, ketua STIT Sunan Giri Bima menjelaskan bahwa kegiatan seperti ini seharusnya sudah dimulai sejak dua tahun lalu tapi karena satu dan lain hal, baru kali ini dapat dilaksanakan. “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Ungkapnya.

Kegiatan diskusi rutin ini, menurutnya, bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dan untuk sharing ilmu di kalangan dosen. Karya yang dikaji dapat berupa hasil penelitian, buku, atau tulisan di jurnal. Karya tersebut dibedah sehingga mendapatkan masukan untuk perbaikan ke depan.

Sementara pembicara Mustafa Umar, M.Pd. mengawali uraiannya tentang konsep awal munculnya Aswaja. Menurutnya, konsep Aswaja berasal dari pemahaman terhadap hadist Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Turmudzi:

عن انس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان امتي ستفترق على ثلاث وسبعين فر قة كلها في النار الا واحدة وهي الجماعة . رواه ابن ماجة

“Diriwiyatkan dari Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullah saw bersabda; Sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan, yaitu al-Jama’ah”.

قال ما انا عليه اليوم واصحابي . رواه الترمذي

“Rasulullah saw menjawab; Yaitu orang-orang yang mengikuti apa yang aku lakukan hari ini beserta sahabat-sahabatku”.

 Kedua potongan hadist tersebut, paparnya, dijadikan dasar sebutan ahli sunnah wal jama’ah atau sering disingkat aswaja dimana hanya satu golongan yang selamat yaitu kelompok yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. dan para sahabatnya.

Secara istilah Ahl berarti keluarga, golongan atau pengikut. As-Sunnah adalah segala sesuatu  yang bersumber dari Rasulullah Saw. baik berupa ucapan, perbuatan ataupun ketetapan. Dan Al-Jama’ah, yaitu apapun yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah Saw. pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin.

Hasyim As’ary menjelaskan dalam Kitabnya Ziyadat Ta’ Liqat hal. 23-24, “Faham ahlussunnah wal jama’ah adalah kaum yang ahli dalam bidang tafsir, hadits dan ilmu fiqih. Dan saat ini terhimpun pada Ulama’ madzhab arba’ah (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).

Jadi menurutnya, Ahli Sunnah wal Jama’ah an-Nahdiyyah memiliki ciri khas sebagai berikut:

Pertama, berkenaan dengan amaliah (cara beribadah) mengikuti:

  1. Dalam bidang aqidah/teologi, mengikuti paham Imam Abu Hasan al-Asy’ary dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
  2. Dalam bidang fiqh/hukum Islam, bermazhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu dari empat Imam madhhab, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ibnu Hambal.
  3. Dalam bidang Tasawuf, mengikuti Imam al-Junaid al-Bagdadi (w. 297 H) dan Imam Abu HAmid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M).

Kedua, berkaitan dengan karakter berfikir, Aswaja lebih cenderung berfikir secara; 1). Tawassuth, (moderat), artinya Aswaja senantiasa bersikap i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul. Tidak bersikap tafrith gegabah dan atau ifrath ekstrim. 2). Tasamuh (toleran), artinya dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun beda aqidah, beda cara berfikir, dan beda budaya. 3.Tawazun (seimbang) dalam berkhidmat, baik berkhidmad kepada Allah Swt. sesama manusia dan lingkungan sekitar. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. 4.’Amr ma’ruf Nahi Munkar. Mendorong terwujudnya perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat serta menolak dan mencegah hal-hal yang dapat menjerumuskan dan merusak nilai-nilai kehidupan.

Ketiga, berkaitan dengan gerakan, maka semua yang mengaku golongan Aswaja harus mengikuti apa yang menjadi kebijakan pusat pimpinan tidak boleh bertentangan dengan garis kebijakan pimpinan.

Dalam pandangannya, secara keilmuan, Aswaja memiliki silsilah sanad keilmuan yang bersambung hingga ke Allah Swt. dengan memegang teguh pandangan Imam Mazhab karena mereka memiliki sanad keilmuan yang jelas. Sanad dimaksud dapat diurut sebagai berikut:

  1. Imam Hanafi dari Imam ‘Atho’ dari Ibnu Abbas dari Rasulullah Saw., dari Malaikat Jibril, dari Allah Swt.
  2. Imam Maliki, dari Imam Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Saw., dari Malaikat Jibril, dari Allah Swt.
  3. Imam Syafi’i, dari Imam Maliki, dari Imam Nafi’ dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Saw., dari Malaikat Jibril, dari Allah Swt.
  4. Imam Hambali, dari Imam Syafi’i, dari Imam Malik, dari Imam Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Saw., dari Malaikat Jibril, dari Allah Swt.

Pemberian sanad keilmuan di kalangan Nahdhiyyin, terutama kalangan pesantren, merupakan suatu hal yang sudah lumrah dilakukan dan masih terus dilestarikan sampai saat ini. Ketika pengajian kitab oleh Kyai telah dituntaskan, kemudian diadakan pemberian sanad (ijazah) kepada semua santri yang ikut mengaji kitab. Ketika santri tadi mengajarkan lagi kitab tersebut kepada santrinya, maka ia menurunkan sanad (ijazah) tersebut kepada anak muridnya dan begitu seterusnya.

Demikianlah adab menerima dan mengajarkan ilmu yang dipraktekkan oleh kalangan santri sehingga dalam memberikan jawaban atas suatu persoalan, mereka tidak asal bicara tapi selalu berdasarkan pada kitab rujukan otoritatif yang mereka pegang.

Tidak terasa diskusi perdana ini terus berlangsung dan suasana semakin cair ketika pada akhir pemaparan, moderator memberikan kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan pertanyaan, tanggapan dan kritik terhadap apa yang telah  disampaikan oleh pembicara dalam rangka memperdalam pemahaman terhadap tema diskusi, yang di antaranya mempersoalkan metode berpikir Nahdlatul Ulama dalam merespon persoalan umat.

Diakhir acara, Irwan Supriadin J., selaku moderator mencatat beberapa kesimpulan di antaranya bahwa dalam menyelesaikan suatu persoalan, Nahdlatul Ulama dengan lembaga Bahtsul Masa’ilnya tidak serta merta merujuk langsung pada al-Qur’an hadist tapi terlebih dahulu merujuk pada kitab-kitab karangan ulama klasik. Kenapa hal ini dilakukan, tentu ada alasan yang mendasarinya. Untuk mengungkap hal itu lebih mendalam, menurutnya, perlu diadakan kajian lebih lanjut tentang metode penetapan hukumnya. “Insya Allah kajian bulan depan akan membahas itu”, pungkasnya. Wallahu a’lam.

Kota Bima, 6 Oktober 209