Serial Ulama Kharismatik Bima (8)

Biografi dan Jejak Dakwah TGH. Usman Abidin

Sebagaimana dijelaskan dalam buku yang berjudul “Mengenang KH. Muhammad Said dan KH. Usman Abidin, bahwa TGH. Usman Abidin atau yang biasa dipanggil Abah oleh anak keturunannya lahir di Raba, Bima, 6 April 1916. Bapaknya, adalah seorang ulama dan pernah menjabat sebagai camat di wilayahnya. Sedangkan ibunya bernama Sa’diah juga berasal dari keluarga terpandang di Bima. Usman kecil digembleng khusus oleh ayahnya untuk mendalami ilmu agama sehingga ketika besar, Usman menjadi tokoh ulama panutan yang berpengaruh di Bima dan Jakarta.

Pada umur 14 tahun, ia dikirim oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu agama di Makkah al-Mukarramah dan dititipkan pada kakeknya yang bernama H. Amin salah seorang tuan tanah di Bima. Di Makkah, ia belajar di Madrasah al-Falah tingkat tsanawiyah yang diasuh oleh Syaikh Sayid Alawi bin Abbas al-Maliki al-Makki, Syaikh Umar bin Hamdan al-Madani al-Makki, Sayid Muhammad Amin al-Qurtubi al-Makki, Sayid Abubakar al-Habsyi dan Sayid Abdullah Hamdu. Selebihnya beliau belajar di masjidil haram. Salah seorang teman seangkatannya yang berasal dari Indonesia adalah Syaikh Yasin al-Padangi.

Ia belajar disana selama enam tahun, karena pada saat itu, pemerintah Arab Saudi menerapkan aturan bagi warga pendatang atau asing diberikan pilihan untuk menentukan kewarganegaraannya. Karena nasionalisme yang tinggi dan ingin mengamalkan ilmu yang didapatnya selama belajar di Makkah, maka ia pun memilih untuk kembali ke tanah air.

Sekembalinya dari Makkah pada tahun 1933, kira-kira umur 21 tahun, ia diminta oleh Sultan Muhammad Salahuddin untuk mengajar di masjid dan istana. Di istana, ia menjadi guru ngaji sultan dan putri-putrinya dengan mengajarkan membaca al-Quran, menghafal juz amma dan surat yasin. Putri Maryam R Salahuddin menuturkan “Sekitar dua tahun beliau mengajar kami mengaji, saya sudah dapat membaca al-Qur’an dengan lancar dan mampu menghapal beberapa surah al-Qur’an seperti zuz Amma dan surat Yasin”.

Ina Kau Mari juga menuturkan bahwa beliau juga mengajarinya menulis dan membaca huruf arab Melay ketika masuk pada tahun ke tiga sehingga tidak mengherankan Ina Kau Mari sangat lancar dan fasih membaca naskah-naskah kuno peninggalan kesultanan Bima berkat ilmu yang didapatkan dari TGH. Usman Abidin tersebut.

Di istana, Ia juga mengajar ilmu tauhid dengan berpedoman pada kitab “Nur al-Mubiin fi i’tiqadi kalimat syahadatain”, yang diwariskan secara turun temurun dari sultan Abdul Qadim. Ia juga menganjurkan kepada sultan agar mendapatkan kitab “syarh al-Manhaj” karangan Syaikh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli sebagai pegangan dalam menjalankan pemerintahan.

Ketika terjadi peperangan antara Jepang dengan sekutu, menurut Ruma Mari, beliau ikut mengungsi ke Dodu beserta keluarga sultan Salahuddin untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari pemboman pesawat sekutu. Selama berada di tempat pengungsian di Dodu, kegiatan pengajian al-Qu’ran dan menelaah isi kitab-kitab kuning tetap dijalankan. Penerangan di malam hari menggunakan lampu templok atau lampu peta yang terbuat dari biji wuwu atau biji jarak yang digoreng hangus, kemudian ditumbuk bersama kapas lalu dililitkan pada sebatang lidi dari bambu.

Setelah keadaan dirasakan cukup aman. Sultan sekeluarga beserta kelompok pengajian kembali ke istana. TGH. Usman Abidin tidak hanya menjadi guru ngaji, tetapi diangkat oleh Sultan sebagai Penasihat Sultan dibidang keagamaan dan sering dimintai bantuan oleh sultan untuk menyiapkan bahan khutbah atau ceramah.

Di istana Bima inilah, beliau menemukan jodohnya seorang penari istana yang bernama siti Mujnah. Dari pernikahannya ini melahirkan dua orang anak yang bernama St.Nurjanah dan Abdurrahman. Pernikahannya ini tidak berlangsung lama karena sang isteri meninggal dunia.

KH. M. Hasib Wahab, salah seoarang menantunya, mencatat bahwa setelah ditinggal mati sang isteri, TGH, Usman Abidin menikah lagi dengan enam orang perempuan yang tersebar di berbagai daerah. Ada yang dari Bima, Surabaya, Jakarta, Garut, dan Bangil. Alasan menikah lagi karena isteri meninggal dunia dan tidak ada kecocokan diantara mereka. Dari sekian pernikahannya itu melahirkan banyak anak dan cucu yang tersebar di berbagai daerah.

TGH. Usman Abidin juga aktif menjadi pengurus Nahdatul Ulama (NU) Sunda kecil (Nama lain pulau NTB dan NTT sebelum kemerdekaan) bahkan pernah diangkat sebagai Rois Syuriah PBNU. Karena suatu permasalahan, akhirnya beliau memutuskan untuk tidak aktif. Ia juga pernah di angkat sebagi ketua MUI dimasa era pemerintahan Soeharto.

Tahun 1937, ia mendirikan PIB (Persatuan Islam Bima) dan menghadiri Kongres Majlis Ala Indonesia di Yogyakarta di masa Jepang. Majlis Ala Indonesia adalah perkumpulan aliran-aliram Islam di seluruh Indonesia. Kongres itu berjalan 2 sesi, yang pertama berada di Yogyakarta yang diikuti oleh beliau dan kedua berada di Solo. Tujuan kongres ini adalah untuk menyatukan perbedaan-perbedaan aliran yang terdapat di Indonesia sejak zaman Belanda.

Ia juga mendirikan pondok pesantren yang menaungi Madrasah Tsanawiyah dan beliau mengajar sekaligus menjadi Kepala Sekolahnya. Ia juga diangkat menjadi anggota pengurus Badan Hukum Syara Bima pada tahun 1950. Menurut Abdul Ghani, beliaulah anggota Badan Hukum Syara’ yang paling banyak memiliki jumlah judul kitab, lebih dari tiga ratus judul. Ia juga pernah menjadi anggota DPRD Bima dan sempat menjabat sebagai wakil ketua DPRD.

Setelah itu, ia pindah ke Jakarta. Di jakarta, ia sering diundang ke mana-mana untuk menjadi juri MTQ dan memberikan ceramah agama. Ia aktif di lembaga pendidikan dengan mendirikan Majelis Taklim di daerah Rawasari, kemudian di daerah Petamburan dan di daerah kemanggisan. Ia juga mendirikan Yayasan Wakfiah Al-Mubarak di daerah Rawasari.

Pada tahun 1994 di Tubuh organisasi NU terdapat dua faksi yaitu kubu Abu hasan yang di dukung oleh Pemerintah Soeharto dan kubu Gus Dur yang di dukung oleh Para Kyai khos. Kubu Abu Hasan mencantumkan nama TGH. Usman Abidin sebagai Muhtasyar, namun beliau menolaknya. Beliau hanya ingin tidak ada perpecahan di kalangan NU. Beliau bersikap netral dalam rangka menjadi penengah atau mediator dalam menyelesaikan friksi antara kedua kubu. Pemilihan pun dimenangkan oleh KH. Abdurrahan Wahid, sehingga terlepaslah NU dari prahara kepentingan politik orde baru masa itu.

Menurut penuturan cucunya, TGH. Usman Abidin termasuk orang yang taat beragama dan sangat perhatian terhadap pendidikan anak-anak dan cucunya. Ia juga terkenal dengan pribadi yang tegas. Sebagai contoh, beliau mewajibkan anak-anak dan cucu-cucunya untuk mengaji dan melaksanakan shalat secara berjamaah. Setiap malam kamis ba’da Isya, ia selalu mengadakan pengajian dan tadarus al-Qur’an di rumahnya dengan mengundang tetangga dan santri-santrinya dan Jumat pagi, ia selalu bersedekah untuk fakir miskin.

Di mata Kyai Hasib Wahab, TGH. Usman Abidin adalah pribadi yang berwibawa, penuh kharisma, alim, ahli tasawuf, dan berjiwa “kewalian”. Walaupun sudah pisah dengan isteri-isterinya terdahulu (sebagian meninggal dunia), ia tetap sayang dan perhatian terhadap anak-anaknya. Ia selalu menasehati anak-anaknya agar selalu giat belajar dan mandiri. Khusus kepada anak-anak perempuannya jika kelak berumah tangga, ia selalu berpesan agar mandiri dan tidak terlalu bergantung pada suami.

Ia meninggal pada tanggal 1 Maret 1999 umur 83 tahun dan dimakamkan di TPU Karet. Ketika meninggal, banyak dari kaum fakir miskin yang mengantarnya. Barangkali mereka mengingat kebaikan-kebaikan TGH. Usman Abidin yang pernah mereka rasakan dulu. Walahu a’lam.

Bima, 08 Januari 2018

Sumber rujukan:
1.Marwan Sarijo (penyunting), Mengenang KH.Muhammad Said dan KH. Usman Abidin, Bogor, Yayasan Ngali Aksara dan Pesantren al-Manar Press, 2001.
2.Prof. Dr. Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima (1947-1957), Yogyakarta, Genta Publishing, 2015
3.https://web.facebook.com/…/khusman-abidin…/339268676163287/…
4.http://x1patulabsky.blogspot.com/…/tugas-2-sebuah-biografi.…, Nur Adhaini S