Serial Ulama Kharismatik Bima (7)

Biografi dan Jejak Intelektual Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi

Salah satu ulama Bima-Dompu yang cukup terkenal di nusantara bahkan di dunia Islam adalah Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi, atau dikenal dengan al-Bimawi. Azyumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan VXIII” mencatat bahwa beliau dianggap sebagai “Maha Guru” ulama nusantara pada abad ke XIX yang belajar di Makkah al-Mukarramah, sehingga tidak mengherankan ulama-ulama sekaliber KH. Hasyim Asy’ari Jombang pendiri Nu dan KH. Holil Bangkalan yang terkenal dengan karomahnya, sangat menghormati Syaikh Abdul Ghani, sehingga muncul cerita ketika keduanya naik delman, dan mengetahui bahwa kuda penarik delman itu berasal dari dari Bima, maka segera beliau berdua turun dari delman karena menghormati kuda Bima asal sang Guru.

Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi lahir pada paruh terakhir abad ke-18, kira-kira tahun 1780 M di Bima, Nusa Tenggara Barat dan wafat pada tahun 1270-an H/1854 M dimakamkan di Ma’la Makkah al-Mukarramah. Tidak ada catatan yang terang mengenai kapan hari lahirnya, tapi yang jelas beliau berasal dari lingkungan keluarga ulama yang memiliki perhatian yang sangat tinggi dalam mengkaji al-Qur’an.

Syaikh Abdul Ghani al-Bimawy merupakan putra dari Syaikh Subuh, pernah menjadi imam Masjidil Haram. Beliau menikah dengan gadis asal Dompu dan melahirkan seorang putra yang bernama Syeikh Mansur atau biasa disapa Sehe Jedo. Syaikh Mansur memiliki dua orang putra yaitu Syaikh Mahdali atau lebih masyhur dengan sebutan Sehe Boe dan Syaikh Muhammad. Syaikh Boe sempat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu di masa-masa akhir kesultanan Dompu.

Muslimin Hamzah dalam “Ensiklopedi Bima” menjelaskan bahwa karena putra-putra Syeikh Subuh ini memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bidang agama juga memiliki karomah, maka mereka dianggap setara dengan sultan. Panggilan atau sebutan yang disematkan kepada mereka pun sama dengan sebutan untuk sultan. Masyarakat Bima-Dompu menyebut keturunan Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi ini sebagai keturunan Ruma Sehe (Ruma artinya Tuhan, Tuan, Sehe yang berarti Syaikh) atau juga dikenal dengan “Koko Janga Ruma Sehe” (kokok ayamnya Ruma Sehe) “orang-orang yang tidak pernah tidur karena rajin beribadah sepanjang malam sebagaimana ayam berkokok di pagi buta.

Kakek buyutnya bernama Syaikh Abdul Karim berasal dari Makkah al-Mukarramah kelahiran Baghdad. Konon Syaikh Abdul Karim datang ke Indonesia dalam rangka mencari saudaranya. Daerah nusantara pertama kali yang beliau datangi adalah Aceh, lalu ke Banten dan ke Sumbawa. Sebelum ke Sumbawa, beliau singgah terlebih dahulu di pulau Lombok bagian Utara. Syaikh Abdul Karim mengajarkan sholat masyarakat disana hanya sampai tiga waktu sholat sehingga muncul istilah “wetu telu” yang berarti waktu tiga yang sampai saat ini dikenal luas oleh masyarakat Lombok.

Sebelum sampai ke Dompu, beliau mampir dulu di Sumbawa untuk berdagang dan mengajarkan agama Islam disana, setelah itu beliau menuju ke timur hingga sampai daerah Dompu. Disini juga beliau berdagang sambil memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat hingga sultan. Memperhatikan kemampuan beliau, Sultan Dompu pun sangat mengaguminya dan jatuh hati padanya sehingga sultan Dompu menikahkan putrinya dengan Syaikh Abdul Karim.

Dari pernikahannya dengan putri sultan Dompu ini, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Ismail juga mengikuti jejak ayahnya sebagai pendakwah kemudian menikah dengan seorang gadis sehingga melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Subuh. Syaikh Subuh sendiri merupakan seorang penghafal al-Qur’an sejak muda dan pernah menjadi imam kesultanan Bima pada masa Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-1748). Syaikh Subuh merupakan penulis mushaf Bima yang diberi nama LA LINO, (al-Syamil, melimpah ruah, menyeluruh), satu-satunya mushaf Bima yang ditulis tangan dan termasuk mushaf tertua di Indonesia.

Dalam perjalanannya menuju Bima, Syaikh Subuh sempat menikahi seorang gadis dari kampung Sarita, Soromandi Bima. Dari pernikahan tersebut melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdul Ghani.

Setelah Abdul Ghani tumbuh besar dan menyerap ilmu agama dari keluarga dan ulama ulama yang ada di sekitarnya, Syaikh Abdul Ghani meminta izin kepada ayahnya untuk pergi haji yang selanjutnya menuntut ilmu di tanah Hijaz. Ada semacam slogan tidak tertulis di kalangan ulama nusantara “jika ingin mendalami Islam secara spesifik dan mendalam maka belajarnya di kampong Al Jawi di Hijaz”, dan itulah yang dilakukan oleh Syaikh Abdul Ghani.

Di Haramain Syaikh Abdul Ghani belajar kepada ulama ulama yang bertebaran di Serambi Masjidil Haram dengan halaqoh ilmiahnya. Beliau mengaji kepada ulama-ulama ternama di sana diantaranya; al-Allamah al-Sayyid Muhammad al-Marzuki dan saudaranya Sayyid Ahmad al-Marzuqi, pengarang kitab Aqidatul Awam, Muhammad Sa’id al-Qudsi -mufti madzhab syafi’i-, dan al-‘Allamah ‘Utsman Ad-Dimyathi. Khairuddin Az-Zirikli dalam kamus tarajimnya, al-A’lam, mencatat bahwa Syaikh Abdul Ghani banyak mengambil ilmu dari ulama-ulama tersebut di atas.

Keilmuan Syaikh Abdul Ghani sudah terlihat menonjol sedari beliau belajar dasar-dasar ilmu agama Islam terlebih ilmu Fiqih dan ilmu Falak, maka tidak mengherankan jika beliau ditunjuk oleh para gurunya agar ikut serta mengajar di Masjidil Haram. Sebagai pengajar di Masjidil Haram Syaikh Abdul Ghani banyak membantu pelajar pelajar terutama dari Nusantara, baik dari urusan keilmuan maupun perekonomiannya. Hal ini disebabkan banyak pelajar Nusantara waktu itu kiriman untuk biaya hidup pelajar sangat digantungkan melalui titipan Jamaah Haji Nusantara.

Selama mengajar di Masjidil Haram banyak dikerumuni para pelajar dari penjuru dunia, di antara murid-muridnya Syaikh Muhammad Bin Muhammad bin Wasi al-Jawi, Syaikh Abdul Hamid bin Ali al-Qudsi, Syaikh Ahmad Khathib bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi, Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani, penulis Tafsir Muroh Labid, Tafsir al-Munir li Ma’alimit Tanzil. Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani adalah guru dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, TGH. Zainuddin Abdul Majid (maulana Syaikh) pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok, Syaikh Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kyai Agung Asnawi Banten, Abuya Dimyati Banten, Syaikh Mubarok bin Nuh Muhammad Tasikmalaya, KH. Abdul Karim Kediri, KH. Muhammad Falak dari Bogor, dll. Syaikh Abdul Ghani senantiasa menyibukkan diri dengan mengajar, ibadah & menulis, tapi sayang tulisan-tulisannya tidak terlacak hingga kini.

Karenanya, dalam suatu acara yang dihadiri oleh Ginanjar Sya’ban pengarang buku “Mahakarya Islam Nusantara”, yang merangkum kitab-kitab karya ulama nusantara, penulis sengaja menanyakan keberadaan kitab-kitab yang dikarang oleh Syaikh Abdul Ghani, Ginanjar Sya’ban menjawab bahwa ia belum menemukan jejaknya.

Syaikh Abul Faidh Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani dalam tashihnya terhadap kitab Kifayah al-Mustafid Lima ‘Ala Lada At-Tarmisi min al-Asanid menyebutkan bahwa Syaikh ‘Abdul Ghani bin Subuh al-Bimawi termasuk salah satu dari 103 ulama asal Melayu yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau, kata Abul Faidh, telah meriwayatkan hadist dari ‘Umar bin ‘Abdul Karim al-‘Aththar al-Makki, Ahmad bin ‘Ubaid al-‘Aththar al-Dimasyqi, Sayyid Muhammad Murtadha al-Zabidi, Sa’id bin ‘Ali al-Suwaidi al-Baghdadi, dan Khairuddin bin Syihabuddin al-Maidani al-Dimasyqi. Wallahu a’alam.

Surabaya, 20 Desember 2018

Sumber rujukan, diantaranya:
1.Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan VXIII.
2.Zainul Milal Bizawie, Mastrepiece Islam Nusantara
3.Muslimin Hamzah, Ensiklopedi Bima
4.Ginanjar Sya’ban, Maha karya Islam Nusantara
5.https://tebuireng.online/syaikh-abdul-ghani-bima-matahari-…/
6.https://mumaseo.wordpress.com/…/biografi-lengkap-syaikh-ab…/
7.https://kambalidompumantoi.wordpress.com/…/syekh-abdulgani…/
8.https://mauhub.wordpress.com/…/abdul-ghani-bima-al-jawi-ul…/
9.http://komunitasbinu.blogspot.com/…/islam-nusantara-di-nusa…