Serial Ulama Kharismatik Bima (3)

Biografi dan Jejak Intelektual TGH. M. Yasin Abdul Lathief

H. M. Yasin Abdul Lathief, merupakan anak tunggal dari pasangan H. Abdul Lathief dan Siti Hawa. Beliau dilahirkan di Roka Belo, pada tanggal 7 Juli 1926, di kampung yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. H. Abdul Lathief merupakan seorang yang sangat taat beragama dan memiliki tekad yang kuat untuk mendalami ilmu agama. Hal ini ditunjukkan dengan semangatnya yang luar biasa dalam menimba ilmu agama hingga ke tempat asal munculnya agama Islam, tempat kelahiran Nabi Muhammad Saw., Makkah Al-Mukarramah.

Di kota Suci Mekah inilah, sang ayahanda bermukim cukup lama dalam menuntut ilmu agama Islam bahkan sampai beliau dipanggil menghadap Sang Pencipta, sehingga beliau belum sempat kembali ke kampung halamannya, bahkan tidak bisa menyaksikan detik-detik kelahiran putera semata wayangnya. Darah ulama rupanya diturunkan oleh sang Ayah kepada putra satu-satunya ini sehingga tidak heran sang anak yang diberi nama Yasin ini akhirnya juga menjadi seorang ulama besar.

Tidak seperti anak-anak lainnya, beliau dibesarkan tanpa didampingi oleh ayahandanya. Bahkan sepeninggal ibunya, tugas mendidik dan mengasuh menjadi tanggungjawab sang nenek. Namun demikian, meski dengan berbagai keterbatasan, melalui didikan dan kasih sayang yang tak terbalas dari sang ibu dan neneknya, Yasin kecil pun tumbuh dewasa dalam suasana dan nuansa keberagamaan yang kokoh sehingga sangat mempengaruhi karakter, sikap, dan pola pikirnya. Sikapnya yang tenang dan tidak banyak bicara hal-hal yang tidak perlu, menjadi ciri khas H.M. Yasin Abdul Lathief.

Semangat keagamaan dan keilmuan yang tinggi telah ditunjukkan oleh H.M Yasin Abdul Lathief sejak masa kecilnya. Di saat anak-anak sebayanya masih senang menikmati dunianya, beliau justru sudah tekun dan serius menuntut ilmu. Hal ini disamping karena motivasi dan dorongan dari keluarga, juga merupakan luapan semangat beliau untuk belajar. Berbagai jenjang pendidikan telah ditempuhnya dimulai dari Vervolg Gubernemen (1940), dan Landbou (1941).

Kemudian beliau melanjutkan studinya ke Madrasah Darul Ulum pada tahun 1943 dan Sekolah Menengah Islam (SMI) pada tahun 1946. Sekolah ini adalah setingkat Madrasah Tsanawiyah atau SMP di masa sekarang. Karena kecerdasannya yang luar biasa dan di atas rata-rata teman-temannya, maka ketika Tingkat V beliau tidak melanjutkan sekolah lagi karena dimata para guru-gurunya sudah dianggap memiliki kecakapan mengajar sehingga akhirnya beliau diminta bantuannya untuk membantu mengajar sebagai guru. Bahkan saat itu beliau mendapat tugas mengajar di Madrasah Darul Ulum Maria Wawo sejak tahun 1946 – 1948.

Tak lama kemudian, Allah Swt. mempertemukan beliau dengan jodohnya, yaitu Hj. Siti Hadijah, yang dinikahinya pada tahun 1949 yang juga merupakan wanita dari kampung halamannya sendiri. Dari buah cinta kasih mereka berdua, lahirlah lima orang putera dan seorang puteri. Semua putera dan puterinya ini mendapat didikan yang ketat dalam hal agama, karena memang sebagai orang tua yang jauh dari sifat keras, H.M. Yasin Abdul Lathief dengan didampingi sang isteri tercinta sangat mampu menampilkan figur teladan yang baik dan mengayomi anak-anaknya. Tidak heran, anak-anaknya rata-rata sukses menempuh jalur pendidikan agama hingga perguruan tinggi, bahkan dalam karir mereka pun tidak bisa dipandang sebelah mata.

Untuk memantapkan profesinya sebagai seorang guru, beliau pun mengikuti berbagai ujian penyetaraan dalam rangka memenuhi kualifikasi mengajar, seperti yang diikutinya pada Sekolah Guru Tingkat B SGB pada tahun 1953. Beliau juga pernah mengikuti Ujian Guru Agama (UGA) pada tahun 1961. Selain itu, beliau juga merupakan lulusan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) pada tahun 1967. Dan akhirnya beliau pun meraih gelar Sarjana Muda pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya Cabang Bima pada tahun 1975. Dengan bekal tersebut, beliau menjadi guru agama keliling yang berpindah-pindah lokasi untuk mengamalkan ilmunya.

Meski sudah berkeluarga dan memiliki anak, beliau tetap setia menjalankan amanah baik sebagai guru maupun sebagai pimpinan lembaga pendidikan. Walaupun tempat tugasnya berjarak puluhan kilometer dari rumah dan keluarganya, apalagi saat itu belum didukung sarana transportasi seperti saat ini, beliau tetap teguh memegang prinsipnya sebagai pendidik, meski harus berkali-kali memboyong keluarga berpindah-pindah daerah sesuai tempat tugas. Meski hanya digaji dengan jumlah kecil, terkadang pula beliau juga harus rela sementara berpisah dengan isteri dan anak-anaknya di Desa Roka Belo demi melaksanakan tugas. Karena itulah untuk menunjang ekonomi keluarga, sebagian besar sangat ditentukan oleh usaha pertanian keluarga.

Diantara tugas-tugas yang pernah beliau emban adalah sebagai Kepala Madrasah Darul Ulum Sumi – Sape Kabupaten Bima pada tahun 1948 – 1950, Kepala Madrasah Darul Ulum Tente – Woha Kabupaten Bima pada 1950 – 1957, Kepala Sekolah Rakyat Islam (SRI) Sila – Bolo Kabupaten Bima pada tahun 1957-1958, Kepala Sekolah Rakyat Islam (SRI) Samili – Woha Kabupaten Bima, (1958-1964), Kepala SRI Roi – Belo Kabupaten Bima (1964 – 1965).

Dengan mengendarai sepeda kumbang, H.M. Yasin Abdul Lathief pulang pergi ke tempat dinasnya atau pulang ke kampung halaman menemui keluarganya di Roka Belo. Di masa-masa ini pulalah beliau memprakarsai dibangunnya Madrasah Ibtida’iyah (MI) Roka yang masih bertahan hingga saat ini. Tahun-tahun tersebut dilaluinya dengan penuh tekad dan kesabaran.

Sejak tahun 1966, atas pengabdiannya beliau diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan ditunjuk untuk memimpin Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Bima sebagai pelaksana tugas, lalu menjadi Pejabat Sementara (Pjs.) Kepala MTsN Bima pada tahun 1968-1974, dan menjadi Kepala MTsN Bima pada tahun 1974 – 1986. Sejak saat itu, H.M. Yasin Abdul Lathief beserta keluarga besarnya pindah domisili dari Desa Roka Belo ke Lingkungan Suntu Paruga di Ibu Kota Kabupaten Bima saat itu karena lebih dekat dengan tempat tugasnya.

Madrasah yang beliau rintis tersebut dalam perkembangannya tidak mampu menampung siswa yang jumlahnya semakin meningkat. Banyak siswanya yang datang dari berbagai kecamatan, dari luar Kabupaten Bima, bahkan dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, kebijakan pemerintah saat itu mengatakan bahwa daya tampung madrasah negeri tidak boleh lebih dari dua kelas. Karena itulah akhirnya beliau bersama rekan-rekannya berinisiatif mendirikan Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren Darul Ma’arif Bima dengan menggunakan tempat MTsN sebagai lokasi madrasahnya.

Dengan adanya Yayasan tersebut, maka siswa-siswa yang tidak tertampung di MTsN Bima saat itu masih bisa mengenyam pendidikan di tempat yang sama meski dibawah naungan lembaga yang berbeda. Siswa MTsN bersekolah di pagi hingga siang hari, sementara siswa MTs Darul Ma’arif bersekolah siang hingga sore hari. Dalam perkembangannya, kini MTsN Bima sudah menjadi ikon pendidikan unggulan di Kota Bima. Sementara lokasi MTs Darul Ma’arif dialihkan ke Desa Roka Belo, dan kini makin berkembang dengan adanya jenjang Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) yang sudah memiliki ratusan siswa dan alumni.

Ketika menjabat sebagai kepala MTsN padolo Bima, beliau juga pernah ditunjuk menjadi pejabat sementara Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Sunan Giri Bima selama beberapa tahun yang pada saat itu perkuliahannya masih menumpang di MTsN Padolo Bima pada sore hari. Beliau juga ikut andil dalam merintis pembangunan gedung kampus STIT Sunan Giri Bima yang berlokasi di Karara kota Bima sehingga setelah pembanguan gedung selesai, walaupun masih jauh dari kata layak, perkuliahan pun dapat dipindahkan ke situ.

Selain memegang jabatan formal di atas, beliau juga pernah aktif dalam berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan diantaranya Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Bima, Ketua Bidang Perhakiman LPTQ Kabupaten Bima, Hakim Honorarium pada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Bima pada tahun 1976 – 1983. Beliau juga pernah ditunjuk sebagai Lebe Na’e/Imam Masjid Agung Al-Muwahhidin Bima. Tugas mulia ini beliau emban dengan istiqamah sejak beliau memasuki masa purna bakti pada tahun 1986 hingga beliau wafat. Di masa-masa inilah beliau menjadi tokoh penting di Kabupaten Bima yang selalu menjadi tempat rujukan dalam hal agama oleh seluruh umat dan lembaga pemerintahan. Beliau juga menjabat sebagai pimpinan Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren Darul Ma’arif Bima sampai beliau meninggal dunia dan untuk pengembangan Yayasan tersebut lebih lanjut dipercayakan kepada putranya Drs. H. Taufiquddin Hamy. Putanya ini pun telah meninggal dunia dan Yayasan diambil alih oleh putra yang kelima Drs. H. A. Munir Hamy hingga saat ini.

Selama hidupnya beliau cukup produktif dalam menghasilkan karya-karya tulis, Sebagian besar tulisan beliau masih berupa tulisan tangan yang sangat rapi. Copy tulisan-tulisan tersebut banyak disimpan oleh putera dan puteri beliau, serta beberapa murid dan temannya yang pernah meminjam dan menggandakannya. Diantara karya beliau yang masih ada adalah: (1) Shalat Taraweh, (2) Risalah Ilmu Tajwid (1978), (3) Kumpulan Hadist tentang Mengangkat Tangan Ketika Berdo’a (1989), (4) Risalah Tuntunan Kaifiah Pengurusan Jenazah Muslim, (5) Fungsi dan Keutamaan Shalat-Shalat Sunnah, (6) Khutbah Jum’at dengan Bersandar Tongkat atau Pedang, (7) Kedudukan Hukum Ceramah antara Adzan dan Iqamah, (8) Wurayqatun fi Ilmil Mawarist, (9) Kumpulan Hadist Ddzikirullah dan Do’a Sesudah Shalat, (10) Kumpulan Dzikrullah dan Do’a yang Ma’tsur Sesudah Shalat (1994), (11) Qawa’id An-Nahwiy Was-Sharfi Ala Syakli Jadulin.

Atas inisiatif dari anak-anak dan cucunya, karya-karya beliau telah diterbitkan menjadi dua judul (1) Biografi dan Jejak Intelektual TGH. M. Yasin Abdullatief I; Kumpulan Hadist tentang Sholat Sunnah, Alamtara Institute, 2013. (2) Biografi dan Jejak Intelektual TGH. M. Yasin Abdullatief II; Kumpulan Hadist Dzikrullah setelah Sholat dan Hadist Mengangkat Tangan ketika Berdo’a, Alamtara Institute, 2014. Sementara karya-karyanya yang lain insya Allah akan menyusul diterbitkan.

Jika ditilik dari sisi pemikiran, berdasarkan karya-karya di atas, pemikiran beliau dapat digolongkan kedalam paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam tataran fiqh beliau lebih dekat dengan Mazhab Imam Syafi’i. Hal ini diperkuat dengan kedudukan beliau secara struktural sebagai salah satu Pengurus Nahdlatul Ulama Kabupaten Bima yang menjadikan mazhab Syafi’i sebagai pegangannya. Namun yang menjadi catatan penting, meskipun beliau lebih condong mengikuti pemahaman Islam tradisional ini, sosok H.M. Yasin Abdul Lathief di mata para ulama, keluarga, dan teman-temannya sangat dikenal moderat dan jauh dari sikap fanatisme mazhab.

Beliau sangat menghargai dan memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap perbedaan pandangan dalam masalah agama, apalagi dalam hal-hal yang bersifar furu’iyah. Bahkan dalam mengajarkan agama pada keluarganya, tidak sekalipun ada upaya untuk mendoktrin agar mengikuti paham tertentu. Hal ini tentu saja agar anak-anak dan murid-muridnya bisa memandang dan mengamalkan Islam secara lebih universal dan komprehensif tanpa dibatasi sekat-sekat tertentu.

Pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah agama yang beliau miliki tidak terlepas dari motivasi belajarnya yang sangat tinggi, baik melalui lembaga formal, dari guru-guru beliau, maupun dari kitab-kitab yang menjadi sumber bacaannya. Diantara guru-guru yang banyak mendidik dan mentransfer ilmunya kepada beliau adalah TGH. Mahmud Abdurrahman, TGH. Malik yang berasal dari Desa Ngali dan TGH. Usman Abidin. Beliau juga dikenal fasih dalam bahasa Arab dan memiliki kemampuan yang bagus dalam membaca kitab-kitab berbahasa Arab.

Koleksi kitab dan buku referensi beliau jika dihitung dapat mencapai puluhan judul dengan ratusan jilid yang didominasi oleh kitab-kitab klasik gundul, baik kitab tafsir, matan hadist, syarah hadist, fiqh, ushul fiqh, maupun masalah agama lainnya. Sebagian besar koleksi pustaka ini beliau dapatkan dari hadiah yang diberikan oleh Syaikh Abdullah Mansyur, teman Ayahandanya yang juga bermukim di Mekah. Ia menghadiahkannya saat beliau berangkat haji yang pertama kali tahun 1972. Beliau juga banyak membawa kitab ketika pulang haji yang kedua bersama isterinya pada tahun 1987.

Dimata anak-anak dan keluarga besarnya, beliau dinilai sebagai pribadi yang taat, sederhana, dan bertanggungjawab. Jika muncul persoalan dalam keluarga, segera beliau selesaikan dengan musyawarah dan penuh pertimbangan. Pernah suatu ketika ada orang yang mengaku bekerja di Australia, menawarkan lowongan pekerjaan sebagai guru ngaji untuk dua orang di sebuah yayasan di sana. Segala biaya perjalanan ditanggung oleh dia. Mendengar tawaran tersebut, beliau segera mendaftarkan keponakannya untuk ikut serta. Beberapa hari sebelum pemberangkatan, beliau merasakan ada sesuatu yang ganjil dengan orang itu. Beliaupun melakukan shalat istikharah meminta kepada Allah Swt. agar diberi petunjuk tentang perasaannya. Setelah mendapatkan petunjuk dalam mimpinya, beliau tambah yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan orang tersebut. Akhirnya beliau membatalkan keberangkatan untuk keponakannya dan digantikan dengan orang lain. Selang beberapa hari, tersiar berita bahwa orang tersebut telah membohongi beberapa orang lain juga.

Bentuk tanggung jawab lain yang beliau perlihatkan, sebagaimana diceritakan oleh beberapa guru Madrasah Aliyah Darul Ma’arif Roka Belo, bahwa beliau mewakafkan tanah untuk pembangunan gedung sekolah. Pada awal pembukaan sekolah beliau menggaji guru dengan gaji beliau sendiri yang diperoleh dari gaji bulanannya. Beliau katakan: “Walaupun gajinya sedikit tapi berkah, karena kalian bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas mulia mengajar anak-anak”. Kata-kata itulah yang masih terngiang diingatan mereka sehingga mereka termotivasi dan bertambah semangat dalam mengajar dan al-hamdulillah saat ini, hampir semua guru yang mengajar di Yayasan tersebut sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi guru.

Dalam pandangan TGH. A. Ghany Masjkur, teman sekolah beliau, seorang tokoh Muhammadiyah Bima, bahwa sosok H.M Yasin Lathief adalah pribadi panutan bagi anak-anaknya, keluarga, dan masyarakat banyak. Seorang ulama besar yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang agama. Hal ini bukan suatu hal yang aneh oleh karena beliau sejak kecil sudah ditempa di Madrasah Darul Ulum Bima dan Sekolah Menengah Islam yang mengadopsi sistem pengajaran seperti di Makkah al-Mukarramah. Guru-gurunya pun kebanyakan lulusan dari Makkah al-Mukarramah. Di sekolah ini beliau diajarkan dasar-dasar untuk menguasai kitab kuning seperti nahwu, sharaf, dan qira’ah. Jika ketiga materi tersebut dapat dikuasai, maka secara otomatis bisa membaca kitab kuning lainnya dalam berbagai disiplin ilmu.

Adapun kurikulum yang diterapkan di sekolah tersebut sambung TGH. A. Ghany Masjkur, sembilan puluh persen materi agama, sepuluh persen materi umum dan mata pelajaran yang umum pun menggunakan kitab kuning sebagai referensinya seperti ilmu hitung, ilmu perbintangan, sejarah, dan lain-lain. Siswa-siswa di sekolah ini benar-benar diajar oleh guru dengan hati yang ikhlas karena Allah. Mereka benar-benar menginginkan agar murid-muridnya menjadi orang yang pintar, cerdas, dan menguasai segala masalah. Guru dan murid di sekolah ini, sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.

Materi-materi yang sudah disampaikan oleh gurunya harus dikuasai oleh muridnya dengan menghafal dan menerangkannya kembali di depan guru dan murid-murid yang lain. Jika tidak bisa maka akan dihukum dengan “sanksi klasik” seperti berdiri depan kelas, dipukul jarinya atau dijewer telinganya. Cara pengajaran guru seperti ini diterima oleh murid-muridnya dengan ikhlas dan penuh kesabaran. Di samping itu, beliau juga menempa diri dengan belajar secara khusus di rumah gurunya dalam rangka mendalami kembali pelajaran sekolah atau mempelajari materi yang sama sekali baru. Hasil didikan inilah yang menjadikan H.M. Yasin Abdul Lathief menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru-gurunya tersebut.

TGH. Said Amin (saat ini sudah al-marhum), mantan Ketua MUI Kabupaten Bima sekaligus teman seperjuangannya, pernah memberikan penilaian bahwa TGH. Yasin Abdul Latief merupakan sosok yang ulet dalam mengembangkan lembaga pendidikan di Bima. Sekitar tahun 1960-an beliu dan TGH. Said Amin bersama rekan-rekannya berupaya menegerikan sekolah-sekolah agama karena pada waktu itu sudah ada Perguruan Tinggi Negeri di Bima, yaitu Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Adapun persyaratan calon mahasiswa baru yang masuk di Perguruan Tinggi ini harus lulusan dari sekolah negeri.

Untuk memperlancar proses penegerian tersebut, mereka menggandeng Kepala Kementerian Agama Kabupaten Bima yang pada waktu itu dijabat oleh Drs. H. Husen Ayyub, dalam rangga memperjuangkan kelancaran rencana tersebut. Akhirnya upaya itu berhasil diwujudkan dengan dinegerikannya MAN Bima yang dikepalai oleh TGH. Said Amin, MTsN Padolo Bima dikepalai oleh beliau sendiri, MTsN Raba dikepalai oleh TGH. Idris Jauhar dan tiga Madrasah Ibtidaiyah masing-masing MIN Parado, MIN Sila dan MIN Bolo yang selanjutnya MIN Bolo ini lokasinya di pindahkan ke Bima menjadi MIN Tolobali.

Beliau juga dikenal sebagai pribadi yang cerdas cendekia, tempat bertanya masalah keagamaan. Persoalan keagamaan yang kerap kali muncul di tengah masyarakat, akan segera terjawab ketika beliau menjelaskan secara detail dengan merujuk kitab kuning klasik disertai dalil al-Qur’an dan al-Hadist. Kenyataan ini bisa dibuktikan dengan tampilnya beliau sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI dan Hakim Honorarium pada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Bima.

Selama hidupnya, H.M. Yasin Abdul Lathief sangat jarang sakit. Meski memiliki jadwal aktivitas dan kesibukan yang padat, kondisi beliau relatif sehat. Namun mungkin karena faktor usia, sejak tahun 2005 kondisi fisik beliau sudah semakin menurun. Dan Pada bulan September 2005, setelah seminggu menjalani operasi Hernia, akhirnya beliau kembali menghadap Sang Khaliq dengan meninggalkan seorang isteri tercinta, 5 orang putera dan seorang puteri, yaitu: Drs. H. Taufikurrahman (Pensiunan Pengawas Kemenag Kota Mataram), al-Marhum Drs. H. Taufiquddin Hamy (Ketua MUI Kota Bima periode 2012 – 2017), Drs. H. M.Fachrirrahman, M.A. (Dosen UIN Mataram), Hj. Siti Ulfah (pensiunan Kemenag Kota Bima), Drs. H. A. Munir (Kepala kemenag Kota Bima), Drs. Furqan Ar Roka (Kasi Haji Kemenag Kota Bima). The end. Wallahu a’lam. This articel was written by Syukri Abubakar dan Ahmad Syagif

Surabaya, 15 Desember 2018