Mengkritisi Awal Masuk Islam di Bima

Saya kemarin sempat berbincang-bincang via inbox dengan budayawan Bima bang Alan Malingi mengenai masuknya Islam di Bima. Tidak puas dengan bincang singkat itu, beliau mengajak saya untuk mendiskusikan sejarah masuknya Islam di Bima nanti pada tanggal 11 Juni 2017 di Mushollah Kuno Kampung Melayu. Saya pun menyambut dengan senang ajakan beliau tersebut agar terkuak kapan,bagaimana dan siapa sebenarnya yang pertama kali menyebarkan ajaran Islam di Bima.


Dari sahutan singkat itu, saya tergerak membuka kembali apa yang pernah saya tulis bersama INA KAU MARI dan saudara Munawar mengenai masuknya Islam di Bima. Paling tidak, ada dua tulisan tentang ini. Pertama, yang tertuang dalam salah satu Bab buku “Aksara Bima; Peradaban Lokal yang Sempat Hilang� dan dalam salah satu bagian buku yang rencananya akan diterbitkan oleh Kemenag RI dengan anak judul “Kehadiran Islam dan Penyebarannya di Bima�.

Informasi yang saya terima dari INA KAU MARI (informasi BO) dan hasil penelusuran beberapa dokumen lainnya memberikan catatan yang beragam mengenai masuk dan berkembangnya Islam di Bima.

Pertama; Informasi versi BO

Menurut INA KAU MARI, sebagaimana yang ditulis dalam BO Sangajikai bahwa Islam masuk ke Bima pada tahun 1018 H/1609 M.
“Hijratun Nabi Saw. seribu sepuluh delapan tahun ketika itulah masuk Islam di Tanah Bima oleh Datuk di Banda dan Datuk di Tiro tatkala zamannya Sultan Abdul Kahir�.

Terkait dengan kedatangan dua tokoh ini, kronik Bima menyebutkan dua angka tahun, 1018 H/1609 M dan 1050 H/1640 M. Dalam hal ini, menurut Rauffaer sebagaimana dirujuk oleh Talaluddin haris bahwa Datuk Dibandang (Datuk ri Bandang) datang ke Sulawesi Selatan sekitar tahun 1600 M, kemudian mengislamkan Goa dan Tallo pada tahun 1606 M. Sedangkan Datuk Ditiro (Datuk ri Tiro) berasal dari Aceh. Keduanya datang ke Bima melalui Sape (labuan Sape) di pantai timur, dari Sape kemudian melanjutkan perjalanan ke Sila untuk menyebarkan agama Islam. Dari kedua penjelasan di atas, bisa jadi kedua Datuk tersebut datang ke Bima dalam waktu dua tahap. 

Tawaluddin juga menemukan dalam Kronik Bima bahwa Abdul Kahir, Sultan Bima I memeluk Islam pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1621 M, tak lama setelah raja Goa mengirimkan ekspedisi militernya yang kedua pada tahun 1619 M.
Hal ini sama dengan informasi yang disampaikan oleh bang Alan Malingi, budayawan Bima bahwa pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1621 M, Putera Mahkota La Ka’i bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera mahkota La Ka’i berganti nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La Ka’i Bumi Jara Mbojo bernganti nama menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese berganti nama menjadi Sirajuddin. 

Sementara menurut catatan M. Fachrir Rahman (2011), berdasarkan BO Tanah Bima, bahwa salah satu catatan yang menunjukkan Islam pertama kali masuk ke Bima adalah:
“Hijratun Nabi Saw. Sanat 1028, 11 hari bulan Jumadil Awwal telah datang di Labuhan Sape saudara Daeng Malaba di Bugis, Luwu dan Tallo, dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan ci’lo dan kain Bugis juga suratnya saudara sepupu Ruma Bumi Jara di Bone bernama Daeng Malaba. Adapun surat itu menghabarkan bahwa orang-orang itu adalah berdagang ci’lo dan kain dan keris serta membawa ajaran Islam�.

Dari catatan BO tanah Bima di atas dapat diketahui bahwa ajaran Islam mulai dikenalkan di Sape pada 11 Jumadil Awal 1028 H/1618 M.

Dari beberapa perbedaan naskah BO terkait awal mula masuknya Islam yang ditampilkan di atas, 1609 M, 1618 M, 1621 M, dan 1650 M, kita dapat menduga-duga barangkali muballig yang datang itu bisa jadi datang berkali-kali, silih berganti yang berjumlah banyak, bisa juga penulisan tahunnya yang salah karena berbedanya pengitungan tahun hijriyah dengan tahun masehi. Dalam hal ini, INA KAU MARI menganjurkan agar dalam menentukan tahun Hijriah dan Masehi harus mengikuti patokan yang telah dibuat oleh ahli dan beliau memiliki foto kopian dimaksud. Mudah-mudahan file fotokopian itu masih ada di Samparaja.

Kedua, Informasi dari sumber lain

Menurut Zollinger, sebagaimana dikutip oleh Bram Morris (dalam Tawaluddin Haris) Islam masuk di Bima pada tahun 1450 – 1540 M yang dibawa oleh para muballig dari JawaMakassar. Sementara Helius Syamsuddin menghubungkan kedatangan Islam di Bima dan daerah sekitarnya dengan masa kejayaan Malaka sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara antara tahun 1400-1511 M. Ia berasumsi bahwa setelah jatuhnya Malaka ke tangan Protugis pada tahun 1511 M, pedagang-pedangan Muslim yang juga bertindak selaku muballig itu mencari daerah baru atau kembali ke Jawa atau Sumatera meneruskan kegiatannya. Di antara mereka ada yang singgah di Bima lalu menyebarkan agama Islam dalam perjalanannya dari Jawa ke Maluku atau sebaliknya. 

Tome Pires mencatat bahwa rute pelayaran perdagangan dari Malaka ke Maluku atau sebaliknya melewati Jawa dan Bima. Di Bima para pedagang menjual barang-barang dagangan yang dibawa dan dibeli dari Jawa, kemudian membeli pakaian (kain kasar) dengan murah untuk dijual (ditukar) dengan rempah-rempah di Banda dan Maluku.

Siapa saja mereka, tidak diperoleh informasi yang pasti, tapi yang jelas mereka adalah pedagang muslim dari Melayu dan pedangan muslim dari Jawa atau bisa juga pedagang muslim dari Maluku. Menurut Pigeand, lalu lintas perdagangan Malaka – Jawa – Maluku ini berjalan dalam kurun waktu abad ke 15 – abad ke 17.

Tawaluddin Haris menginformasikan dalam Babad Lombok diceritkan agama Islam di bawa ke Lombok oleh Sunan Prapen putra dari Sunan Giri Gresik. Setelah berhasil mengislamkan pulau Lombok, sunan Prapen meneruskan perjalanannya ke timur untuk mengislamkan Sumbawa dan Bima. Jika informasi ini dapat dibenarkan, maka menurut H.J. de Graaf, peristiwa itu seharusnya terjadi pada masa pemerintahan sunan Dalem Giri (1506 – 1546) M.

Demikian sekedar informasi yang saya peroleh tentang awal mula masuknya Islam di Bima. Catatan tersebut tentu saja belum sempurna, diperlukan pencarian lebih lanjut terutama melalui situs-situs peninggalan kesultanan Bima yang berserakan di daerah Bima. Tawaluddin (arkeolog UI) sendiri mengakui bahwa untuk menentukan kapan Islam masuk dan berkembang di Bima belum dapat ditentukan secara pasti. Wallahu a’lam.

Surabaya, 24 Mei 2017