Tipologi Ulama Klasik dan Ulama Kontemporer


Tema ini adalah salah satu dari sekian tema yang disodorkan oleh dosen pengampu mata kuliah “Institusi Agama: Ulamaâ€� untuk dijelaskan apa isi kandungannya. Walaupun saya tidak memilih tema ini untuk makalah saya, tapi saya tertarik untuk membedahnya, karena menurut pandangan saya, ulama adalah manusia atau orang yang diberikan Allah Swt. pemahaman keagamaan yang lebih daripada orang lain. Walaupun demikian, karena ia adalah sosok manusia, maka sifat kemanusiaannya baik yang positif maupun negatif tetap melekat dan menempel pada dirinya. Untuk itu, saya perlu menelusuri tipe-tipe ulama dimaksud dalam rangka membuka wawasan kita tentang mereka. Dalam hal ini, saya mengajukan tipologi ulama klasik dan kontemporer yang saya peroleh datanya dari beberapa tulisan yang berserakan. 

Perlu diketahui bahwa istilah ulama dalam di beberapa daerah, sebutannya sangatlah beragama. Di Jawa kita mengenalnya dengan sebutan Kiai, di Lombok menyebutnya dengan Tuan Guru, di Aceh menyebutnya dengan Teuku, di Bima sendiri masih diperdebatkan penyebutannya apakah Kiai, Tuan Guru, Kakek Guru atau sebutan lainnya, malah kadang-kadang digabung menjadi TG KH. Entahlah apa sebutan ciri khas ulama Bima yang bener, perlu ditelusuri lebih lanjut. 

Untuk mewakili pandangan ulama klasik mengenai tipologi ini, saya merujuk pada pendapat Imam al-Ghazali yang lahir pada tahun 1055 M (ada yang menyebut 1056 atau 1058 atau 1059 M) dalam kitab masterpiece-nya yang cukup terkenal Ihya Ulumuddin, menjelaskan bahwa tipologi atau kategorisasi ulama (ulama yang sejaman dengan beliau) terbagi menjadi dua, yaitu Ulama Akhirat (Ulama al-Akhirah) dan Ulama Dunia (Ulama ad-Dunya atau Ulama al-Su’). Dikatakan ulama akhirt karena ia memerankan dirinya sebagai pewaris Nabi, menggunakan ilmunya untuk meraih keridhaan dan kedudukan disisi Allah Swt. Sementara Ulama Dunia atau Ulama Su’ (Ulama yang Buruk) adalah ulama yang menuntut dan mendapatkan ilmu dengan niat untuk mendapatkan kenikmatan duniawi dan kedudukan yang tinggi. 

Adapun ciri-ciri Ulama Akhirat diantaranya adalah tidak mencari dunia dengan ilmunya, perbuatannya selaras dengan perkataannya, menjauhi ilmu yang sedikit manfaatnya, yang banyak perdebatannya dan omong kosong, tidak cenderung kepada kemewahan, menjauh dari pada para penguasa, tidak terburu-buru memberi fatwa, dan lebih banyak perhatiannya pada ilmu bathin, mengawasi hati, mengenal dan menempuh jalan akhirat. Sementara ciri-ciri Ulama Dunia adalah mengejar kenikmatan dunia, mendekat kepada penguasa yang lalim, terlalu mudah memberi fatwa.

Sedangkan untuk mewakili ulama kontemporer dalam mengkaji karakteristik ulama, saya mengutip beberapa pandangan atau konsep yang diajukan oleh pemikir-pemikir kontemporer, diantaranya Muhammad Abid al-Jabiri, khususnya dalam kitab Bunyat al-Aql al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nazm al-Ma’rifah fi al-Thaqafah al-Arabiyah. Dalam tulisannya ini, al-Jabiri memuat kritik terhadap akal ulama Arab. Al-Jabiri menjelaskan bahwa konstituen akal ulama dapat diklasifikasikan dalam tiga trend: 1) al-‘Aql al-bayani (akal retoris) akal ini yang direpresentasikan oleh bahasa Arab, usul fiqh, dan ilmu kalam adalah produk kejeniusan orang Arab yang sayangnya tidak bisa berkembang lagi, karena sudah mencapai titik klimaks kematangannya, era kodifikasi. Pada tataran ini, yang memiliki otoritas adalah teks sementara akal hanya digunakan sebagai pengawal teks. 2) al-‘Aql al-irfani (akal gnostis- makrifah, ilham dan kasyf dengan riyadhah dan mujahadah) . Al-Jabiri menyebutnya dengan al-‘aql al-mustaqil, akal yang menikam dirinya resigning reason. Akal ini justru dipergunakan untuk memberikan pembuktian rasional terhadap impotensitas akal. Akal gnostis merupakan hasil pengadopsian ajaran-ajaran Hermenetisme dan neo-Platonisme. Dalam sejarah filsafat Islam, akal ini mencapai puncak kematangannya di tangan Ibnu Sina dan meraih mahkota kejayaannya di tangan al-Ghazali. 3) dan al-Aqal al-burhani (akal demonstratif, pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum logika) berasal dari teks-teks filsafat Aristoteles. Akal ini mulai dipopulerkan oleh al-Ma’mun, tetapi baru bisa berkembang secara normal di Semenanjung Andalusia, khususnya di tangan filosof besar Arab, Abu al-Walid Ibn al-Rusd.
Terkait dengan karakteristik kiai NU, Nasiri dalam disertasinya, menemukan beberapa tipologi yang dikemukakan oleh peneliti sebelumnya, tergantung dari kacamana mana yang dipakai. Jika dilihat fungsinya, khususnya bagi masyarakat Jawa pada masa Belanda, Isma’il membagi dua, yakni; pertama, kiai bebas atau kiai yang memposisikan diri di jalur dakwah dan pendidikan, kedua, kiai penghulu atau kiai pejabat yang diangkat oleh pemerintah Belanda. Tugasnya melaksanakan bidang kehakiman yang menyangkut syariat Islam. 

Ada juga yang mengkategorikan kiai sebagai kia idealis dan kiai realis. Kiai idealis maksudnya, kiai yang memegang teguh akan kebenaran yang diyakininya yang bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Idealismenya itu tumbuh secara perlahan dalam jiwanya, dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir. Sedangkan kiai realis adalah kiai yang sikap/pola pikirnya mengikuti arus. Individu yang realistis cenderung bersikap mengikuti lingkungannya dengan mengabaikan beberapa/semua nilai kebenaran yang dia yakini. Sama dengan idealisme, realisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa dan pikiran seseorang.

Imam Suprayogo membuat empat kategori terkait dengan penyikapan kiai terhadap masalah politik, sosial, ekonomi dan pendidikan. Yakni, 1) kiai spiritual, kiai yang hanya mengurus pesantren dan berkonsentrasi untuk ibadah. 2) kiai advokasi, kiai yang aktif mengajar di pesantren namun dia sangat peduli terhadap persoalan pemberdayaan masyarakat. 3) kiai politik adaptif, kiai yang peduli dengan organisasi politik dan kekuasaan serta dekat dengan pemerintah, umumnya di golkar. 4) kiai politik mitra kritis, yaitu kiai yang peduli terhadap organisasi politik namun mereka kritis terhadap pemerintahan, umumnya di PPP.

Menurut Mujamil Qamar, corak pemikiran kiai NU dikategorikan dalam lima tipologi, yaitu; pertama, antisipatif, pola pikir yang cenderung menanggapi sesuatu yang sedang dan akan terjadi. Kedua, elektik, pola pikir yang berusaha memilih semua yang dianggap terbaik tidak peduli dari aliran manapun, filsafat manapun, dan teori manapun asal lebih baik dari pada yang lain. Ketiga, divergen, pola pikir yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional. Ciri khas pemikiran ini lebih menonjol kadar liberalismenya dari pada ciri-ciri yang lain. Keempat, integralistik, yaitu pola pikir yang berusaha menyatakan berbagai hal; mungkin dua atau lebih yang seolah-olah berlawanan dan diusahakan mencari jalan tengahnya atau mengkompromikan dua hal yang bertentangan tersebut. Kelima, responsif, pola pikir yang cenderung memberikan jawaban terhadap problem-problem yang sedang dihadapi umat. Ciri khasnya adalah cepat tanggap, suka merespon, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap fenomena sosial, dan berusaha menawarkan solusi.

Warsono dalam disertasinya, sebagaimana dikutip Nasiri, ketika melakukan kajian terhadap fungsi kiai dalam menghadapai dominasi negara pada era Abdurrahman Wahid, menggolongkan tiga tipologi, 1) kiai intelektual organik, yaitu kia yang terkait dengan struktur produktif dan politik dari kelompok yang sedang berkuasa. Mereka tampil sebagai juru kampanye dari penguasa atau kelompok yang berjuang untuk mendapatkan kekuasaan dalam rangka menyebarkan dan menanamkan ideologi terorganisir. 2) kiai intelektual tradisional, yaitu kiai yang memiliki otonomi dan tidak terkooptasi oleh kelompok yang berkuasa. Mereka menjaga jarak dengan kekuasaan dan berkonsentrasi mengajar di pesantren dan menjalankan transformasi masyarakat. 3) kiai intelektual simultan, kiai yang berfungsi sebagai intelektual organik namun dalam situasi yang lain mereka bisa berubah fungsinya sebagai intelektual tradisional.

Itulah beberapa tipologi ulama klasik dan kontemporer yang dipetakan oleh pada ahli dalam melihat sepak terjang ulama/kiai pada masanya. Tipologi ini bisa dilihat dari pola pikirnya, perilakunya sehari-hari, atau relasinya dengan kekuasaan. Wallahu a’lam. 

Surabaya, 28 Mei 2016