Syukri Abubakar. Tugas keduaku adalah membaca pemikiran Roel Meijer dalam buku Global Salafism; Islam’s New Religious Movement. Buku ini adalah berasal dari kumpulan makalah dari 18 orang nara sumber pada konferensi yang bertajuk “Salafism as a Transnasional Movement� yang diselenggarakan selama tiga hari dari tanggal 27 hingga 30 September 2007 di Nijmegen Netherlands.
Posisi Roel Meijer dalam buku ini, selain sebagai kontributor tulisan, ia juga bertindak sebagai editor buku dan meringkas point-point dalam 18 makalah itu menjadi satu tulisan yang utuh yang menjadi bab pendahuluan dalam buku ini. Paling tidak ada lima tema besar yang didiskusikan dalam buku ini, diantaranya; doktrin salafi, salafi dan politik, jihadi salafi, salafi global dan salafi global, dan identitas salafi. Dalam tulisannya, Meijer merasa galau mengenai salafisme global ini, karena salafisme global belum begitu banyak orang atau akademisi yang menelitinya. Peneliti hanya membicarakan salafisme klasik dan modern. Sehingga pemahaman mengenai terma salafisme sendiri dirasa sangat sulit dimengerti karena ambiguitas dan fragmentasinya gerakan salafisme tersebut.
Kalau ditilik, pembicaraan mengenai salafisme global ini boming sejak peristiwa pengeboman gedung kembar WTC di Amerika pada tanggal 11/9 2001. Setelah adanya peristiwa ini, maka ramai-ramailah orang membicarakan tentang salafisme atau wahabisme global. Mengapa? Karena terungkap pelakunya ada kaitannya dengan kelompok salafi jihadi yang dikomandani oleh Usama bin Laden. Berlanjut kemudian dengan kejadian Bom Bali, Bom JW Merriot, Bom Paris dan seterusnya memunculkan image di kalangan Barat bahwa Islam itu identik dengan kekerasan, identik dengan terorisme, bom bunuh diri dan citra jelek lainnya. Dari kejadian demi kejadian tersebut, sarjana Barat menjelaskan bahwa slogan idealisme Islam sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi penduduk dunia, berubah menjadi ancaman bagi perdamaian dunia.
Dari situ, maka banyak yang bertanya-tanya tentang siapa kaum salafi itu?, apa doktrinnya sehingga banyak yang tertarik masuk didalamnya? Apa hubungannya dengan politik dan kekerasan? Menjawab kegelisahan tersebut, Roel Meijer memaparkannya dengan apik and ciamik dalam pendahuluan buku itu.
Dari hasil bacaan sementara, kita harus hati-hati menggunakan istilah-istilah yang berseliweran dalam media sosial dan media massa. Menurut Amin Abdullah, kita harus membedakan antara 1) Salaf (al-salaf al-Saleh), 2) Salafiyyah (syafi’iyyah nahdiyyah NU) dan 3) Salafi. Ketiganya memiliki makna dan implikasinya masing-masing. Kalau kata salaf diartikan secara bahasa adalah orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Secara istilah, generasi tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah Saw. yakni para sahabat Nabi saw., tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Sedangkan salafiyah dalam pandangan orang-orang NU adalah orang-orang yang mengikuti ketiga generasi awal dan ulama-ulama setelahnya (ahli sunnah wal jama’ah/sunni) sehingga pondok salafiyah itu identik dengan pondok yang mengkaji al-Qur’an, hadist Nabi Muhammad Saw. dan kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang dikarang oleh ulama-ulama setelah tiga generasi awal tersebut. Sampai kapan batas akhirnya, perlu penelitian lebih lanjut karena kitab-kitab yang dikarang pada masa sekarang pun jika dicetak dengan kertas kuning tetap dianggap sebagai kitab kuning.
Sementara Salafi, menjadi sulit didefinisikan oleh para pakar karena sifatnya yang ambigu dan fragmentatif. Menurut Bernard Haykel, salafi mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang ditolong oleh Allah swt. al-Thaifah al-mansurah dan kelompok yang diselamatkan al-Taifah al-Najiah oleh Allah swt. di hari kiamat kelak. Mereka juga dikenal dengan kelompok ahli sunnah, ahli hadist, dan salafi-wahabi. Amin Abdullah berdasarkan bacaannya terhadap tulisan Meijer, membagi kelompok ini menjadi (1)Salafi dakwah apolitik yang dimotori oleh Nasiruddin al-Albani, Muqbil Hadi al-Wadi’i, Ibn Baz, dan lain-lain. (2) Salafi Takfiri yakni kelompok-kelompok yang dengan mudahnya mengkafirkan kelompok lain di luar mereka, dan (3) Salafi Jihadi berpolitik yang dikomandani oleh Abu Muhammad al-Maqdisi, Yusuf al-Uyairi, Shalih Fauzan bin Fauzan, Abdullah Azam, Mullah Umar dan Osama bin Laden. Kelompok ketiga ini, untuk mencapai tujuannya, tidak segan-segan melawan pemerintah yang berkuasa karena sudah dianggap dhalim dan sudah keluar dari koridor ajaran Islam yang mereka pahami. Seperti yang dilakukan oleh Usama bin Laden yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintahan Arab Saudi yang memberikan ijin penempatan Tentara Amerika di Arab Saudi pada tahun 1990-1991. Dari kebijakan ini, kelompok salafi jihadi seluruh dunia mengecam kebijakan pemerintah Arab Saudi tersebut karena sebagaimana yang dikatakan Gilles Keppel bahwa munfulnya salafi jihadi itu merupakan kombinasi antara penghormatan terhadap teks-teks suci dalam bentuk pemahaman yang paling literal dan komitmen berjihad melawan Amerika sebagai sasaran utamanya.
Adapun tokoh-tokoh yang memiliki andil besar terhadap munculnya salafisme sebagai doktrin, menurut Meijer diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang dikenal dengan ahli hadist (780-855), Taqiyuddin Ibn Taymiyah (1263-1328) yang menyeru kembali kepada al-Qur’an dan al-hadist. Dan pada abad ke-18 dipertegas oleh Muhammad bin ‘Abd Wahhab (1703-1792) dengan gerakan Wahabisme yang dimulai di Nejd, Arabia Tengah, yang berupaya mereformasi masyarakat agar kembali kepada ajaran tauhid. Ia menilai masyarakat sedang tersesat jalan dan menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk meraih keselamatan dan kembali kepada kejayaan Islam masa lampau adalah dengan penegasan kembali kepada ajaran Tauhid dan kembali kepada al-Qur’an dan As-sunnah.
Dalam hal ini, ia lebih condong kepada pemikiran Ibnu Taymiyah dari pada pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Ia menjelaskan bahwa orang yang tidak mengikuti doktrin tauhid dinamai dengan kafir atau murtad yang boleh diperangi dengan jalan jihad melawan mereka. Study paling anyar menunjukkan bahwa pencegahan terhadap takhayyul dan berdakwah merupakan esensi ajaran Wahabi.
Pada permulaan abad ke-20, muncul pula pemikir-pemikir Salafi, di Mesir ada Hasan al-Banna (1906-1949) dengan mendirikan kelompok Ikhwanul Muslimun dan Abu A’la al-Maududi (1903-1978) mendirikan partai Jama’at al-Islami di Indo-Pakistan. Mereka memperkenalkan gerakan pemikiran yang berusaha mendefinisikan Islam sebagai ideologi politik berhadapan dengan ideologi politik besar seperti sosialisme. Mereka menekankan bahwa kemunduran umat Islam karena kurangnya soliditas dan persaudaraan di kalangan kaum muslimin. Dari upaya ini, maka lahirlah beberapa kelompok turunan seperti Hizbut Tahrir di Lebanon yang didirikan al-Nabhani, Hamas di Palestina dengan Syeikh Yasinnya, Hizbullah di Lebanon, FIS di Aljazair. Gabungan dari kelompok-kelompok Salafi-Wahabi yang berpolitik dengan Ikhwan al-Muslimin yang berpolitik inilah, menurut Meijer, yang dinamai dengan salafi jihadi saat ini. Salafi jihadi ini juga banyak terpengaruh dengan doktrin jihad yang dicetuskan oleh Sayyid Qutb salah seorang pembesar Ikhwanul Muslimin dalam kitab ma’alim fi al-tariq yang menjadi rujukan kelompok Islamis di seluruh dunia, yang mengatakan tentang keabsahan memerangi rezim yang tidak saleh. Ini terbukti dengan adanya mobilisasi jihad ke Afganistan sewaktu invasi Uni Soviet (1979-1989) yang memperluas penyebaran pemikiran jihad Sayyid Qutb. Dari sinilah bermula pemikiran jihad berkembang ke berbagai negara muslim dalam bentuk kelompok-kelompok perjuangan bersenjata.
Tulisan ini baru menjawab sebagian kegelisahan Meijer yang dipertanyakan diawal. Insya Allah akan diuraikan edisi berikutnya. Udah capek dan laperrr hehehe
Menghadapi kenyataan demikian, terus gimana sikap kita dalam mendidik generasi mendatang??? Wallahu a’lam
Surabaya, 22 Desember 2015