SEMINAR BUDAYA; ISLAM di MBAWA. Religiusitas dan Konflik Kebudayaan Orang Bima Majemuk di Pegunungan

Aba Du Wahid dan Kaprodi PAI

Syukri Abubakar. Seminar ini terselenggara atas kerjasama STIT Sunan Giri Bima dengan The Australian Nasional University . Adapun pembicara dalam seminar ini adalah seorang peneliti berasal dari SambinaE Bima yang pada saat sekarang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Udayana Denpasar Bali dan The Australian Nasional University, bernama Aba Du Wahid
Ia memulai pemaparannya dengan menjelaskan lebih dahulu tentang orang Donggo. Orang Donggo dalam pandangannya adalah orang yang memiliki kebudayaan khas yang berbeda dengan orang-orang yang tinggal di sebelah timur teluk Bima. Perbedaan ini dapat dijelaskan dalam beberapa hal:

Pertama, segi etnisitas. Kalau kita mencari tahu tentang sejarah asal orang Donggo, kita akan menemukan beberapa jawaban. (a) Bahwa mereka adalah masyarakat asli mbojo yang tinggal pada zaman Naka (jaman batu yang belum tau baca tulis). Diceritakan bahwa dulu terdapat kerajaan Kalepe yang berlokasi di wilayah Parado yang dibuktikan dengan artefak-artefak dan puing-puing kerajaan di sana. Kerajaan Kalepe ini ditaklukan oleh Ncuhi Dara beserta sekutunya. Akibat penaklukan ini menyebabkan rakyat Kalepe melarikan diri ke arah Timur dan Barat dikarenakan penyerangan dilakukan melalui arah utara. Yang ke barat hingga ke Tambora kemudian mendirikan kerajaan Peka (putih) di Tambora. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti peninggalan-peninggalan yang antara lain, wadu pa’a, Karombo (karumbu), Temba Romba, dll. Sebagian masyarakat Kalepe yang tidak mampu lagi melarikan diri kemudian berhenti di Sambori, karena merasa tidak dikejar lagi maka mereka mendiami Sambori hingga sekarang yang kemudian disebut Donggo Ele. Sedangkan para tawanan perang dalam rangka penaklukan kerajaan Kalepe dibuang ke Donggo yang kemudian berkeluarga dan berketurunan sehingga menjadi Donggo Di misalnya saja donggo o’o, donggo kala, sangari, mbawa, tolonggeru, nggerukopa dll. (b) Pengakuan orang Mbawa sendiri bahwa mereka berasal dari Sumbawa yakni dulu nenek moyang mereka dikejar-kejar oleh pasukan Hindia Belanda dari Sumbawa lari ke Daha Dompu dan lari lagi hingga sampai ke pucuk gunung Leme yang akhirnya mereka menamakannya dengan Mbawa yang berasal dari Sumbawa. (c) Ada juga yang berpendapat bahwa pada jaman kerajaan dulu masih terdapat praktek perbudakan. Kerajaan Bima yang menguasai daerah Manggarai, mengambil orang-orang di sana sebagai budak yang akan dibawa ke Batavia. Mereka-mereka yang dianggap “Mbaniâ€�, tidak langsung dibawa ke Batavia tapi ditempatkan dulu di wilayah donggo. Menurut versi ini, dari mereka inilah cikal bakalnya orang Mbawa itu. Mengenai nama Mbawa, di Manggarai juga ada nama Mbawa. Jangan-jangan nama Mbawa ini diambil dari Manggarai itu.
Kedua, segi Topografinya. Kalau orang Donggo menempati High Land dataran tinggi alias pegunungan (Donggo Di dan Donggo Ele), sedangkan orang Kota Bima menempati Low Land dataran rendah.
Ketiga, segi Religiusitas. Orang Bima dikenal sebagai Muslim taat, sedangkan Donggo memiliki beberapa keyakinan. Ada yang muslim, ada yang Kristen dan sedikit penganut Budha di Tambora. Sementara di Mbawa sendiri terdapat 9 dusun. 3 dusun mayoritas Kristen, 2 dusun mayoritas Islam dan sisanya 4 dusun ada yang penganut Islam, ada penganut Kristen Katolik dan Kristen Protestan.

Kemudian Aba Du Wahid mempertanyakan kenapa harus Mbawa yang diteliti. Kok bukan wilayah Bima yang lain?.
Ia menjelaskan bahwa Mbawa itu “small village big issus or small village big lesson�. Desa kecil tapi isunya besar mendunia atau desa kecil tapi memberikan pelajaran yang cukup banyak.

Dari hasil review tentang kajian Islam di Indonesia Timur, ia menemukan seorang berkebangsaan Amerika Serikat pernah melakukan penelitian di Mbawa pada tahun 1970-an yang bernama Pitter John (nama penanya; Pitter Just) menulis buku yang berjudul: Donggo Justice. Ia menulis tentang masyarakat Mbawa tanpa melibatkan pandangan Tokoh masyarakat dan tokoh agama Bima, sehingga menurut Aba Du Wahid isi buku tersebut tidak mewakili orang Bima secara keseluruhan. Padahal orang Mbawa itu, orang Donggo Bima juga.

Ada juga Professor Michael Hichkock dari Inggris yang meneliti di Ntobo Kota Bima yang berjudul Islam and Identity in Eastern Indonesia. Penelitian ini kebanyakan diarahkan kepada hal-hal yang berkaitan Identitas. Ia meneliti tentang hasil kerajinan orang Bima seperti kain tenunan yang dijadikan sarung dan baju dan kreatiftas orang Bima lainnya.




Untuk memahami kehidupan masyarakat Mbawa, menurut Aba Du Wahid, ada beberapa tahapan yang perlu kita perhatikan. Tahapan pertamasebelum kedatanga Islam dan Kristen. Pada tahap ini, masyarakat Mbawa menganut keyakinan lama yang disebut dengan Parafu. Keyakinan lama ini, bagi sebagian masyarakat Mbawa masih terus dilestarikan sampai sekarang walaupun sudah menganut salah satu agama. Tahapan kedua, sejak masa kesultanan. Sultan Nuruddin, misalnya, memerintahkan da’i-da’i untuk menyebarkan Islam disana dan lebih gencar lagi pada masa kesultanan Salahuddin. Pada masa beliau, wilayah yang lain sudah diislamkan semua. Sementara Mbawa belum bisa di Islamkan. ketiga,pasca kesultanan sampai sekarang. Kalau kita perhatikan dari jumlah warga muslim dan non muslim, maka kita bisa melihat terjadi peningkatan jumlah pemeluk Islam yang sangat signifikan.


Lebih lanjut Aba Du Wahid menjelaskan bahwa Bima merupakan pusat Islam bahkan menjadi salah satu kerajaan Islam di Nusantara. Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa warga Mbawa tidak bisa di Islamkan semua?. Ada beberapa jawaban yang bisa menjelaskan pertanyaan tersebut, diantaranya; (1) Agak susah pada masa itu untuk masuk ke wilayah Mbawa karena jalan menuju kesana sangat sulit dilalui, hanya da’i-da’i militanlah yang mau berjuang disana sehingga praktis informasi tentang Islam sangat minim mereka terima (2) Pada tahun 1965, Suharto memerintah dan membuat kebijakan bahwa semua warga Negara harus menganut 5 agama resmi Negara, jika tidak maka akan dibasmi karena dianggap Atheis (PKI). Karena ketakutan komunal dicap Atheis ini, maka celah itu dimanfaatkan oleh orang-orang Kristen untuk mengkristenkan orang-orang Mbawa sehingga banyaklah orang Mbawa masuk Kristen. Orang Kristen ini berasal dari Sumbawa dan Flores. Keberterimaan mereka terhadap Kristen Timur dan Sumbawa itu lebih cepat dari muslim karena orang timur dianggap sebagai keluarga sendiri. Kenapa? Karena kerajaan Bima dulu wilayah kekuasaannya sampai ke Flores. Salah satu komoditi ekonomi adalah Budak. Bima merupakan daerah transit perbudakan dari Timur. Mereka dipilah-pilah mana yang layak dibawa ke Batavia mana yang tidak. Bagi yang tidak layak “Nakal� karena bisa membahayakan, maka ditempatkan di wilayah Mbawa Donggo. Jadi, nenek moyang orang Mbawa ini banyak yang berasal dari Flores. Mereka menetap di Mbawa sambil mempraktekkan ajaran agama mereka. Sementara yang dari Sumbawa keberterimaannya lebih gampang lagi, mengingat orang Mbawa mengkronstruk asal usul mereka itu berasal dari Sumbawa. Jadi menurut orang Mbawa, nama Mbawa itu diambilkan dari Nama Sumbawa. Sehingga pasca tahun 1965, pendeta dari Sumbawa datang ke Mbawa untuk mengabarkan injil dengan mudah mereka terima. (4). Setelah itu, ketika insfrastruktur sudah ada, maka yang terjadi adalah “Islamisasi� bukan Kristenisasi karena jumlah penduduk warga muslim semakin bertambah. Bukti Islamisasi adalah sebagaimana yang ditulis oleh Pitter Just 2001: 72 bahwa pada tahun 1981, muslim; 62 %, Kristen; 38 % Parafu; 90 % ?. sementara pada tahun 2013 (dengan jumlah penduduk 4.656) muslims; 80 %, Kristen, 20 %, Parafu-(?).


Aba Du Wahid juga memaparkan mengenai khazanah kebudayaan orang Mbawa. Bahwa mereka memiliki ciri khas kebudayaan sendiri yang masih dipraktekkan sampai sekarang. Ketika local genuine ini bersentuhan dengan budaya Islam yang dibawa oleh para da’i, maka terjadilah konflik budaya. Para da’i ini mengajarkan bahwa ritual-ritual yang mereka lakukan adalah berbau syirk. Oleh sebab itu, ritual-ritual tersebut harus dihilangkan sama sekali. Nah, untuk mempertahankan identitas budaya yang sudah dipraktekkan ratusan tahun itu, mereka menurut Aba Du Wahid menggunakan strategi budaya resistensi dan akomodasi. Artinya mula-mula mereka menolak namun secara pelan-pelan mereka terima dengan cara melakukan perubahan sedikit demi sedikit dalam acara ritualnya. Bahkan Orang Mbawa saat ini sedang gencar melakukan perubahan-perubahan dalam rangka menata kehidupan mereka ke depan.

Aba Du Wahid mencontohkan dalam Raju, ada perubahan struktur tari Kalero. Dulu dalam tari Kalero ini gerakannya biasa saja, tapi sekarang mereka padukan syimbol-syimbol Islam dalam tarian itu dengan cara mereka sendiri. Sekarang gerakannya ada yang angkat-angkat tangan seperti orang yang sedang bertakbir. Dari symbol mengangkat tangan ke atas seperti ini dapat dibaca sudah ada perubahan seakan-akan mereka sedang mengadopsi gerakan sholat. Begitu juga, ketika mereka berkumpul di Ncuhi dalam rangka Kalero membaca mantra-mantra, dianggap sama dengan orang-orang yang membaca dzikir bersama di Masjid. Begitulah cara mereka mempertahankan identitasnya.
Di samping itu, mereka juga memiliki tenunan khas Mbawa. Tenunan berupa sarung ini tidak mau mereka jual sembarangan terutama kepada orang Bima tapi kepada orang sila, mereka mau menjualnya. Itu artinya bahwa mereka mau menitipkan legacynya ke sila dari pada ke orang Bima.
Orang Mbawa kalau diperhatikan secara seksama, mereka selalu dalam keadaan tertekan dan selalu merasa ditekan. Tunjuk misal, ketika mereka berkumpul dalam satu tempat untuk melakukan do’a Raju. Dalam praktek do’a Raju ini mereka hendak memadukan Singkretisasi  budaya antara Islam, Kristen, dan Parafu. Praktek seperti ini dalam pandangan Islam dianggap perbuatan syirik oleh sebab itu harus dihilangkan. Maka da’i-da’i itu gencar melakukan dakwah di Mbawa untuk mengajarkan ajaran Islam yang murni. Menanggapi perlakuan orang luar tersebut, mereka hendak mengatakan; “Ita doho ma wa’a agama baru, ita doho tidak tau apa yang terjadi pada kami, jangan selalu menyalahkan kami, karena kami yang menjalankan hidup kami. Biarlah kami punya cara sendiri untuk merawat kehidupan kami.

Kemudian Abu Du Wahid menceritakan bahwa pada suatu ketika Sehe Boe yang berasal dari Dompu,  datang ke Mbawa menanam dua pohon yaitu Fu’u Due. Yang satu dinamai FU’U MENGI (pohon wangi) yang satu lagi dinamai FU’U WOU (pohon bau). Fu’u Mengi ditanam di dusun Kambentu didiami oleh warga muslim sementara Fu’u Wou  ditanam disusun Mbawa 2 yang didiami warga non muslim. Menanggapi apa yang dilakukan oleh  Sehe Boe yang menanam pohon tersebut, Warga Mbawa, dalam bacaan Aba Du Wahid hendak mengatakan; “Aduh, kita hendak dipisah-pisah, dikotak-kotak oleh orang luar nih. Bagaimana mungkin kita dicerai beraikan, padahal kita ini satu keluargaâ€�. Kira-kira begitulah isi hati mereka yang tidak keluar. Mereka mau melawan tapi tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Perilaku seperti ini biasa disebut dengan hiden transkrip.
Untuk mempertahankan eksistensinya, mereka gunakan senjata orang kalah yaitu resistensi menolak hal-hal yang dilakukan oleh orang luar dengan menebang Fu’u Mengi oleh orang Kristen dan dibangun Gereja di sekitarnya sebagai bentuk akomodasi dalam beragama. Begitu juga dari warga muslim menebang Fu’u Wou lalu dibangunkan masjid di sekitarnya.
Dalam hal penamaan; Ignatius (Ismai’il), Joseph (ja’far), David (Ibrahim), Stephanus (Jamaludin, Dominggus (Yudhi), ini juga sebagai bentuk merangkul budaya luar dalam rangka mempertahankan eksistesi mereka. Startegi seperti ini biasa disebut istilah sosiologi sebagai Blowring Identity penyembunyian identittas. Inilah strategi kebudayaan merangkul dan mempertahankan diri.

Di akhir presentasinya, Aba Du Wahid menyarankan kalau melakukan dakwah disana, harus memahami dunia bathin orang Mbawa bagaimana seharusnya berdakwah. Dakwah disana harus melakukan modifikasi sedemikian rupa sehingga apa yang disampaikan dapat diterima oleh orang Mbawa. Kita menerapkan metode wait dan see. Biarlah mereka berproses sampai mereka menemukan keyakinannya sendiri setelah mendengarkan dakwah yang dilakukan.
Bima, Sabtu, 16 Agustus 2014